Home » » Menuju Pendidikan yang Terbebaskan

Menuju Pendidikan yang Terbebaskan


Dalam ranah psikologi, manakala dimensi humanis dibelenggu, setiap orang dengan sendirinya mencoba berusaha keluar dari ketertekanan tersebut dengan segenap kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya. Bahkan dalam titik ekstrem bisa cenderung destruktif dan juga agresif. Kebebasan seperti inilah yang telah hilang dalam pratik pendidikan yang lama berlangsung di negara kita sehingga seakan-akan yang ada di hadapan kita adalah sistem pendidikan yang rigid (kaku). Seorang pencinta pendidikan dan rohaniwan, Y.B. Mangunwijaya, beberapa hari menjelang meninggalnya, mengatakan, "Selama ini sebenarnya kita tidak memiliki sistem pendidikan nasional, yang ada sistem militerisasi dan penyeragaman (uniformisasi) dalam ber-bagai bentuknya."

Berbagai bentuk kebijakan pendidikan yang mengekang, seperti dikemukakan Paulo Freire (dalam Pedagogy of the Oppressed, salah satu buku monumental yang sempat diterbitkan LP3S Jakarta, 1985) perlu dilakukan upaya dalam membebaskan masyarakat dari "kebudayaan bisu", yang turut memojokkan mereka larut dalam kenaifan politik. Situasi dan kondisi seperti itu bermuara dari sistem pendidikan yang memusat, baik di tingkat yang paling atas (political will) dari pemerintah maupun di ttaran operasionalnya (ke-giatan pembelajaran di kelas). Pada wilayah operasionalnya, akibat sistem pendidikan yang memusat tersebut, terciptalah pola hubungan yang sifatnya paternalistik. Pendidik adalah segala-galanya bagi murid. Akibat yang terjadi adalah sikap kritis dan kreatif --yang merupakan bagian dari sisi humanis anak didik-- tidak berkembang secara wajar. Watak murid sepenuhnya dibentuk guru.

Relasi murid-guru semacam itu telah melibatkan guru terus-menerus aktif berbicara, sedangkan siswa hanyalah sebuah objek yang membisu (dengan aktivitas datang, duduk, dengar, dan pulang). Tanpa sedikit pun dimotivasi atau termotivasi untuk bersikap terbuka, kritis, apalagi berhasrat mengungkapkan gagasannya. Di mata Freire, konsep pendidikan seperti itu mirip "gaya bank" sebab pendidikan yang berjalan bagaikan sebuah kegiatan menabung. Mu-rid celengan dan guru adalah penabung.

Membaca lembar demi lembar buku (yang semula merupakan disertasi doktoral di Pascasarjana, Universitas Indonesia) karya Yosep Dedy Pradipto ini, pembaca akan tercerahkan dengan pemikiran lengkap yang diapungkan Romo Mangunwijaya tentang pembelajar sejati. Bagi Mangunwijaya, hari depan bangsa terletak pada generasi muda. Oleh sebab itu, generasi muda harus dibina dan dan dipersiapkan sedari awal. Sejak sekolah dasar (SD) itulah persiapan pembentukan dirintis. Pendidikan SD merupakan variabel penting dan fondasi sistem pendidikan yang terkadang diabaikan.

Mangunwijaya sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah (Kritik Romo Mangun terhadap Kurikulum Nasional, hlm. 57-64). Kurikulum yang dipersiapkan pemerintah dibuat bukan untuk kepentingan anak. Yang penting anak lulus, entah mampu atau tidak. Lulusan SD dianggap sebagai sumber daya ma-nusia. Atau untuk kepentingan politik tertentu, lulusan SD sudah banyak sehingga memberikan kesan bangsa ini sudah menjadi bangsa terdidik. Kuri-kulum yang diseragamkan terkadang tidak cocok dengan keadaan wilayah tempat anak-anak SD dibesarkan lingkungankannya. Mi-salnya, anak SD di Pulau Banda seharusnya diajarkan tentang pelayaran dan perikanan sebab di sana kekayaan laut sangat melimpah. Jangan diajari mengerti teleskop atau mikroskop, sedang mereka sendiri tidak pernah melihat penggunaannya sehari-hari.

Bentuk ekspresi Romo Mangun terhadap pendidikan dasar diwujudkan dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan, dengan kurikulum alernatif. Artinya, kurikulum dikembangkan sesuai dengan hal yang konkret dan keseharian anak didik. Hal ini sejalan dengan visi pendidikan yang Romo Mangun idamkan, yakni anak dibiasakan bertanya, m-engeskplorasi pengetahuan, dan dibiaskan kreatif. Tentu saja, landasan cinta kasih dalam pendidikan lebih dikedepankan Romo Mangun. Orang miskin tetap harus sekolah!

Hadirnya buku Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional ini sungguh tepat jika dikaitkan dengan fenomena kurikulum (yang dibuat pemerintah) yang terus mencari bentuk. Keberadaan sekolah alternatif yang dikembangkan Romo Mangun itu bukan dipandang sebagai perlawanan terhadap ke-kuasaan, me-lainkan kbentuk orientasi bagi pengembangan sikap kreatif dan aktif peserta didik. Ini bermula dari pendidikan yang fokusnya me-ngembalikan keberadaan (eksistensi) manusia. Pendidikan yang hanya mengiring anak didik sekadar "hidup" dan tidak membawa kepada suatu proses menjadi (process of being), bukanlah pendidikan yang sesungguhnya.


(E
di Warsidi, peminat buku/konsultan pada penerbit CV Eureka Dwiraga dan beberapa penerbit di Bandung)**

Sumber: Galamedia, Kamis-17 Maret 2011


0 comments:

Posting Komentar