Home » » Memaknai Kursi

Memaknai Kursi

PADA tataran tertentu, kursi adalah segalanya. Untuk seorang tukang kayu atau pembuat kursi, kursi adalah sumber inspirasi bagi kreativitas karya ciptanya, sekaligus mata air penghidupannya. Pada saat orang penat, kursi merupakan tempat nyaman melepas kepenatan. Dalam pandangan seorang anggota parlemen, kursi adalah mediator efektif meluapkan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat atau sebaliknya? Dalam hati seorang penguasa, kursi adalah sentralisasi kekuasaan sekaligus beragam wajah "kedaulatan" dan kepentingan atau sebaliknya. Adapun, kursi di mata mahasiswa bisa jadi teramat multifungsi. Selain tempat nyaman mendengar dosen berbicara di ruang kuliah sekaligus tempat ngorok, ngerumpi, diskusi, dan sejenisnya. Bagi Tuhan, kursi adalah 'Arasy.

Alhasil, terlepas dari persoalan moralitas, kosmos kursi memiliki nilai lebih—bergantung pada siapa dan bagaimana kita menyikapinya. Pada tataran pemikiran pembuat kursi, pemahaman dan penyikapannya tentu berbeda dengan sosok seorang penguasa. Ada diferensiasi makna. Dus, mengenal relativitas, tentu. Berangkat dari sini, optimalisasi dan fungsionalisasi kursi pada porsinya teramat urgen.

Namun apabila upaya itu melepas keterkaitan dengan sosio-kultur (sebuah) tatanan, kita biasa menyebutnya sebagai tindakan amoral plus memalukan. Jika kecenderungan dimaksud telah menjadi bagian dari peradaban dan masyarakat menilainya sebagai sesuatu yang wajar sebagai upaya apologetik, misalnya—maka dia adalah patologi. Patologi kebudayaan! Ironisnya, kecenderungan tersebut perlahan-lahan pasti merambah, memberi napas bagi tata hidup dan kehidupan keseharian kita. Nyaris di segala bidang dan sisinya. Dalam konstelasi politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan bahkan dalam beragama. Itu begitu memfenomena dan begitu sistemik.

Namun, masyarakat kita dalam keterdiamannya berkesan telanjur menganggapnya absah dan sebagai suatu kewajaran semata; sebagai konsekuensi logis dari beragam perubahan demi perubahan. Begitu memprihatinkan jika ternyata realitas tersebut telah turut membentuk format budaya kita. Hingga jika kita bersikap menolak atau tidak turut terlibat "menyosialisasiya", langsung tidak langsung di dada kita akan tersemat anggapan sebagai masyarakat nirbudaya. Menyakitkan ataukah menggelikan? Ataukah kedua-duanya? Ataukah tidak sama sekali?

Bagaimanapun kursi tetaplah kursi. Ada yang empuk dan bagus, ada pula yang sebaliknya. Ada yang mahal, murah, dan juga ada yang gratis, hasil "merampok", misalnya. Hanya takaran fungsionalisasi kursi mengenal konteks bagaimana dan siapa yang menggunakannya. Itu artinya, secara esensial, fungsi kursi bisa jadi beragam meskipun secara eksoteris, kursi berfungsi sebagai tempat duduk, terlebih tatkala peradaban manusia mengenal proses pengabsahan yang tidak absah dan pewajaran segenap yang tidak wajar. Proses yang menafikan segala hal yang berkaitan dengan kelanggengan dan kesempurnaan tatanan wajah kemanusiaan. Kondisi objketif ini dipahami benar oleh para politikus kita atau pemegang kursi, yang mengerti benar kursi macam apa yang kini menyunggih dirinya; yang mampu membuatnya menepuk dada sembari bangga berkata siapa dirinya. Pada gilirannya, para pemegang kursi piawai sebegitu  mampu membagaimanakan kursi yang dia miliki.

Kepiawaian itu mereka buktikan pada banyak kasus korupsi yang kini masih memanas; memanasi hati jutaan rakyat republik ini. Korupsi adalah  skandal perampokan hak rakyat terbesar di sepanjang sejarah penyelenggaraan kehidupan di manapun. Kasus yang lahir dari budaya katabelece, surat sakti, urgensitas koneksi, dan semacamnya; sebagai refleksi logis kuatnya kongkalikong (kolusi) para pemegang atau pengguna kursi di panggung kontelasi interes kepentingan. Hal itu bisa dilakukan oleh seorang politikus lugu sekalipun. Sebagai kepala sebuah lembaga yang seharusnya berlaku sebagai pemberi nasihat, saran, pertimbangan, petunjuk (pada kepala pemerintahan) bagi keparipurnaan sistem penyelenggaraan negara (ironisnya yang terjadi justru sering kali meminta petunjuk). Fungsi lembaga yang dipimpinannya, yang seharusnya bersih dari segala tindakan penyebab krisis moral dan wibawa kelembagaan. Di sinilah titik persoalan sesungguhnya.

Perbuatan para penyalahgunaan kursi tersebut, disadari atau tidak, mengaburkan fungsi formal lembaga yang dipimpinnya. Dengan pemberian referensi itulah berbagai ihwal penyelewengan terjadi. Seorang polisi berpangkat jenderal rela mengorbankan kursinya gara-gara terlibat kasus menjijikan; korupsi. Hal itu bergulir dan akhirnya bermuara pada pelataran hati rakyat yang untuk kesekian kali hatinya terluka. Menyadari ketidakbisalepasan perannya terhadap kemunculan skandal besar tersebut, politikus lugu—seperti biasa—mengeluarkan senjata pamungkasnya: kursi kekuasaan. Dan sekali lagi, itu lantaran dia teramat paham makna besar keberadaan fungsi yang ia miliki!

Siapakah yang berkata kursi tidak dapat melindungi seseorang dari masalah? Seorang kiai yang dipilih masyarakat sebagai anutan, bisa jadi memiliki fasilitas maksum. Seorang dosen tidak mustahil terlewat teguh statusnya untuk dibantah atau didebat tentang suatu ilmu, walaupun untuk sebuah status quo itu dengan melarang nyontek, misalnya seorang bapak pada anaknya, suami pada istrinya hingga seorang penguasa pada rakyatnya. Inilah budaya kita! Adat ketimuran, orang Barat biasa menyebut. Sebuah tatanan budaya yang lahir dari mengurat akarnya feodalisme, genderisme, patrelinealisme, dan semacamnya pada diri masyarakat. Ini lantaran masyarakat telanjur memahami stratifikasi sosial secara imporsi. Pada gilirannya, hal itu melahirkan kecenderungan-kecenderungan set­back: kesungkanan, ketakutan, kepicikan, kekhawatiran, perasaan bersalah, dan seterusnya. Hal itu juga membawa kita pada kondisi dilematis pada setiap penuntasan atau penyikapan persoalan.

Dan sekali lagi, politikus lugu mampu memanfaatkan kondisi sosio-kultur masyarakat. Betapa tidak, ternyata kita mengalami ketakutan dan kesungkanan struktural untuk menghadapkannya sebagai sekadar saksi atas keterlibatannya pada berbagai skandal memalukan itu. Kita masih merasa pakewuh untuk mencomotnya atau sekadar menon-aktifkan sementara dari jabatan ketua sebuah lembaga. Tidak perlu kita membandingkan dengan proses penyelesaian kasus pencurian ayam oleh salah seorang saudara kita yang pengangguran sebab kita hanya akan menemukan keterjauhan perbedaan antara pencuri ayam dan perampokan uang rakyat, meskipun pada hakikatnya keduanya memiliki kesamaan sebagai pengambilan hak orang lain secara sepihak.

Namun, imbas yang dihasilkan teramat berbeda, (kerugian) material maupun immate­rial. Di sinilah letak perbedaan objektivitas kasusnya sekaligus perbedaan upaya penyelesaiannya. Terhadap saudara kita yang (terpaksa) mencuri ayam itu, kita tidak perlu merasa bersalah untuk memberlakukan hukum secara pasti dan meyakinkan. Dengan ekspresi sinis, mungkin Anda akan berkata, "Apalah arti seorang pencuri ayam, pengangguran lagi!" Terlebih pada era reformasi ini, keberadaannya dicap sebagai beban pembangunan. Tidak lebih begitu! Atau barangkali Anda hanya akan bertanya, "Kursi apa yang dia miliki?"

Inilah budaya kita. Terlepas adakah kita menyadarinya atau tidak sebagai suatu penyakit yang telah teramat akut dan kronis.  Akan tetapi, mungkin memang benar bahwa yang penting akhirnya bukanlah mempertahankan suatu sikap defensif, tetapi menciptakan. Suatu upaya internalisasi intens bagi proses pencerahan tatanan budaya sebab tanda peradaban pada hakikatnya ialah perilaku kita yang hidup dengan rasa hormat kepada segala yang tumbuh dari kehidupan. Dan sungguh, tulisan ini tidak bermaksud mengagitasi siapa-siapa untuk mencerca atau mengecam siapa pun. Tulisan ini hanya akan mengabarkan bahwa betapa budaya kita masih sakit!

Namun, Anda bisa menuduhnya sebagai agitatif, destruktif, konfrontatif, negatif. Yang pasti, sebuah media massa pernah memuat berita seorang anak kecil yang selamat dari reruntuhan sebuah kondominium yang ambruk di Filipina sebab sang ibu—yang tewas pada musibah itu—menyuruh sang anak berlindung di balik sebuah kursi.**

0 comments:

Posting Komentar