Home » » Catatan Perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang

Catatan Perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang

BANDUNG merupakan sebuah kota di Jawa Barat yang dikelilingi oleh gunung-gunung berapi. Gunung Tangkuban Parahu yang artinya secara garis besar "perahu terbalik" adalah yang paling mengesankan. Dari arah kota itu, dengan sedikit imajinasi kita dapat melihat ujung kapal yang bentuknya trapesium, tegak menjulang setinggi 2.076 meter. Ciri-ciri khas bayangan tersebut juga terlihat dari lambang kota Bandung, duman sebuah perahu terbalik muncul di atas permukaan laut. Sebuah motif aneh untuk kota yang terletak di tengah-tengah dataran tinggi Jawa Barat. Berabad-abad lalu memang pernah ada sebuah danau bentukan letusan gunung berapi, tetapi kemudian mengering lagi. Tanah subur di sekitar daerah pedesaan lereng Tangkuban Perahu ditanami buah-buahan dan sayur-sayuran. Udara di sini sangat dingin. Saat mencapai Lembang, kita berada di atas ketinggian 1.000 meter. "Di sini udara bersih dan dingin seperti musim panas di Riesengebirge", sebuah jajaran pegunungan Eropa Timur. Orang yang mencatat penemuan "menyegarkan" ini di dalam sebuah surat pada1857 dan selama bertahun-tahun membuat berbagai penelitian di Jawa adalah Franz Wilhelm Junghuhn.

Pada sebuah gunung di bawah pohon tinggi, didirikan monumen untuk mengenang Junghuhn. Objek wisata bersejarah ini memang tidak seramai objek wisata lainnya. Monumen tersebut memang tidak dibanjiri pengunjung. Namun, tanggal yang tertera di atas makam sederhana itu merupakan fakta kehidupan mendasar yang menjadi sumber atau bahan berbagai tulisan perpustakaan universitas dan cerita petualangan. Dr. Franz Wilhelm Junghuhn dilahirkan di Mansfeld Pruisen, 14 Oktober 1810. Ia meninggal dunia di Lembang pada  24 April 1864. Tanggal kelahiran tersebut salah, meskipun janda Junghuhn sendiri yang menuliskannya. Seharusnya, Franz Wilhelm Junghuhn dilahirkan pada 26 Oktober 1810. Namun tanggal tersebut sudah telanjur menjadi sejarah, meskipun salah. Seorang penduduk yang telah lanjut usia dari desa itu menunjukan pohon-pohon yang daunnya berguguran di sekitar daerah tersebut, yang tidak segera dapat dikenali oleh orang yang tidak akrab dengan tumbuh-tumbuhan. Dijelaskan bahwa pohon-pohon tersebut adalah pohon kina. Pohon yang memainkan peran penting dalam kehidupan Junghuhn yang penuh gejolak.

Junghuhn berasal dari keluarga dokter. Ia mengambil Jurusan Kedokteran di Universitas Halle dan Universitas Berlin. Kemudian, ia diberi tugas  sebagai dokter bedah di Angkatan Bersenjata Prussia.

Keterlibatan dia dalam sebuah perkelahian yang berakhir tanpa korban, telah membawa keruntuhan. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun di Benteng Ehreinbreitstein dekat Koblenz. Namun, ia melarikan diri ke Prancis setelah 20 bulan di penjara dan bergabung dengan Legiun Asing di Algeria–seorang pria yang kehilangan arah tujuan, kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, dan mencapai sebuah kesimpulan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya di benua Eropa. Pada 1835, ia tiba di Batavia, kini Jakarta, tempat ia bekerja untuk Belanda sebagai "petugas kesehatan". Ttidak lama kemudian, ia dapat melakukan apa yang menjadi kegemarannya, yaitu menjalajahi dan mempelajari alam Indonesia.

Franz Junghuhn mendapatkan cuti dari tugas-tugasnya sebagai dokter. Pada 1839, ia mulai mengumpulkan berbagai data dari Jawa, kemudian melanjutkan pekerjaannya di Batakland, Sumatra Utara, antara 1840 dan1842. Sesudah itu,  ia hanya mempelajari Jawa. Ia merupakan orang pertama yang secara sistematis menjelajahi pulau utama kepulauan Indonesia, dengan berjalan kaki untuk membuat inventaris atas keadaan alam, dengan biaya sendiri, penuh tekanan dan disiplin diri yang luar biasa untuk mengatasi semua rintangan.

"Selama dua belas tahun, saya mengabdikan diri pada kerja ilmiah saya di Hindia, menghormatinya bagai sesuatu yang sakral; pada jalan-jalan setapak yang sepi, saya mencari jalan melintasi pegunungan dan hutan-hutan di kepulauan Sunda yang megah, tanpa tujuan lain, selain karena saya kerjakan dengan semangat saya sendiri." Kata-kata ini tertuang dalam kata pengantar karya bukunya, Jawa, Karakter Fisik, Tetumbuhan dan Struktur Dalamnya, yang ia tulis di Belanda pada  1848–1851. Dengan kesehatan yang memburuk, ia tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa lelah melalui Indonesia.

“Ia adalah penjelajah ilmiah Jerman terbesar di tanah Melayu”.  Pujian ini disampaikan oleh orang yang mengikuti jejak Jughuhn pada abad ini–yang melaksanakan kerja lapangan geografis di Indonesia di bawah kondisi alam yang sama sulitnya–Dr. Karl Helbig, dilahirkan 1903 di Hildesheim dan meninggal dunia pada 1991 di Hamburg.


Awal Kina Masuk Jawa

Junghuhn disebut-sebut sebagai Humboldt-nya Jawa. Ia diibaratkan Alexander von Humboldt (1769–1850), cendekiawan besar yang menjelajahi Amerika Latin. Para ilmuwan dari generasi ke generasi menarik manfaat dari dasar-dasar riset yang diletakkan Junghuhn. Perkembangan ekonomi Jawa mendapat kan arah dari data penelitian Junghuhn. Ia yang membuat peta topografis pertama Jawa. Ia menuliskan bukunya secara tidak sengaja dalam bahasa Belanda. Kolega dan rekan sebangsanya, Karl Hasskarl, menerjemahkannya kedalam bahasa Jerman. Pejabat kolonial ini memainkan peran lain dalam kehidupan Junghuhn, sedangkan kehidupannya sendiri juga penuh warna dan petualangan. Justus Karl Hasskarl, dilahirkan pada 6 November 1881 di Kassel, meninggal dunia pada 5 Januari 1894 di Celle. Pada 1930 dan 1940-an, Hasskarl bekerja di Kebun Raya Buitenzorg, yang kini di kenal sebagai Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Ia kemudian kembali ke Eropa dan dipercaya oleh pemerintah Belanda untuk melaksanakan sebuah misi penuh bahaya di luar jalur hukum, yaitu membawa biji-biji serta bibit cinchona (kina) dari Peru ke Jawa. Peru yang masa itu memegang monopoli penggunaan pohon kina telah mengeluarkan larangan ekspor total. Kulit pohon cinchona sudah sejak lama diketahui sebagai bahan dasar untuk menyembuhkan malaria. Permintaan akan pohon tersebut berkembang sejalan meningkatnya jumlah orang Eropa yang mulai hidup dan bekerja di daerah-daerah beriklim tropis. Bubuk yang berwarna putih dan larut dalam air yang disebut kina diambil dari kulit pohon cinchona, sangat laku keras di pasaran. Hasskarl melaksanakan misi tersebut dengan sukses. Dengan menumpang sebuah kapal perang Belanda, ia membawa biji-biji kina dan 121 kotak berisi anak pohon Calisaya cinchona ke pulau Jawa. Tujuh puluh anak pohon kina selamat dalam pelayaran tersebut. Di Cibodas, dekat Bogor, pohon-pohon cinchona pertama ditanam; sebuah proyek tanpa pengalaman sama sekali. Ini merupakan tantangan ilmiah dan komersial. Karena kesehatannya terganggu, Hasskal memutuskan kembali ke Eropa.

Sebagai gantinya, pemerintah menunjuk Junghuhn yang telah kembali ke Jawa pada 1851, menjadi pejabat penanggung jawab pengembangan pohon-pohon kina atau dikenal dengan Kinakultur. Di sekitar Lembang, ia memulai perkebunan pohon kina. Ia pindah ke sana bersama istri dan anak laki-lakinya yang masih kecil ini, merupakan awal dari bagian kedua kehidupan penuh petualangannya. Kegagalan, salah manajemen, dan masalah-masalah kesehatan menandai tahun-tahun terakhir hidupnya. Kesuksesan tidak lagi dapat diraihnya. Ketika dokter berkebangsaan Swiss, E. Haffter, menetap di Lembang pada 1898, 34 tahun sesudah wafatnya Junghuhn, ia mencatat bahwa terdapat lebih dari dua juta pohon cinchona digunakan untuk memproduksi kina. Sampai 1940-an dan kekacauan akibat Perang Dunia II, perkebunan-perkebunan di sekitar Bandung memasok bahan mentah 90% produksi kina ke seluruh dunia. Selama beberapa waktu lamanya, kina merupakan satu-satunya senjata melawan penyakit malaria. Monopoli yang dikaitkan dengan nama Bandung, hanya dipatahkan oleh hadirnya produksi obat-obat sintetis untuk menyembuhkan malaria yang dipelopori perusahaan-perusahaan kimia Jerman.***

0 comments:

Posting Komentar