Home » » Geng Motor, Patutkah Dikasihani?

Geng Motor, Patutkah Dikasihani?

BERITA tentang ulah geng motor kerap menjadi buah bibir masyarakat dan media massa. Ada yang geram, bahkan ada yang menghujat, "Geng motor adalah sampah masyarakat, tak pantas dikasihani!"

Wajar saja masyarakat umum cemas dan menghujat ulah geng motor. Seolah-olah mereka bukan lagi kumpulan orang yang berguna alias madesu atau masa depan suram. Mereka berani berulah karena sikap pengecut yang terus ditanamkan di dalam dirinya. Mana mungkin mereka berani berulah sendirian. Jadi, sikap solidaritas yang tertanam dalam anggota geng motor adalah solidaritas semu dan salah kaprah, solidaritas yang cenderung kriminal.

Ulah geng motor cenderung merusak citra klub motor lain yang memang berhimpun untuk membentuk ikatan atas dasar hobi dan kecintaan terhadap otomotif sehingga program-program mereka pun "takut" dicap masyarakat sebagai organisasi geng motor kriminal. Oleh sebab itu, klub-klub pencinta motor harus juga berani menunjukkan eksistensi dengan bersatu-padu mencegah ulah kriminal yang dilakukan gerombolan bermotor anak-anak muda pelajar yang tanggung itu.
Khas ulah kriminal geng motor

Ulah anggota geng motor memang makin kasat mata. Mereka makin kejam dan berani menganiaya siapa pun yang dianggap rival atau merasa dikalahkan oleh pengendara motor lain. Sialnya, mereka berani berbuat jahat secara berkelompok sehingga kepengecutannya makin tampak. Mana mungkin berani berulah sendirian. Dalam dunia geng motor tanggung ini, peran ketua geng sangat berpengaruh sebab anggota geng lainnya di bawah pengaruhnya. Takut dianggap penakut sehingga anggota gengnya berani berbuat sesuai kehendak sang ketua geng.

Selain tindakan jahat, melukai, mencelakakan pengendara motor lain, bahkan membunuh orang lain dianggap tindakan berani dan inilah yang membunuh karakter anak-anak muda menjadi insan yang bangga dengan dosa.

Selain tindakan kriminal, mereka pun bangga melakukan vandalisme, seperti mencoret-coret tembok rumah orang, yang biasanya dilakukan tengah malam. Sialnya, pelakunya anak-anak pelajar SMP dan SMA.

"Knalpot bengek", begitu tetangga saya menyebutnya sebab memang knalpot ini menjadi kebanggaan anggota geng motor. Makin tidak keruan suaranya, makin berani ia berbuat nekat. Jadi, persoalan knalpot ini walaupun seperti sepele, tetap mengganggu lingkungan. Beranikah polisi menertibkan knalpot tidak standar ini? Tantangan sepele buat aparat kepolisian. Mudah-mudah dipikirkan adanya operasi rutin penggunaan knalpot berisik itu. Jadi, bukan operasi surat-surat kendaraan saja atau helm tidak standar.
Saran

Orangtua yang memiliki anak masih pelajar SMP dan SMA jangan coba-coba memanjakan anak-anaknya dengan motor. Pergaulan mereka dengan motor makin dipengaruhi lingkungan sosial kawan-kawannya, yang kian tidak terkontrol dan tidak terkendali. Biarkan anak-anak mandiri dengan menggunakan angkutan umum walaupun harus berkorban dengan biaya bulanannya. Pilih mana? Biaya atau mereka mudah tergoda ikut-ikutan pergaulan sesat macam geng motor.

Masyarakat Bandung dari semua lini harus bersatu membentuk semacam satgas jika di lingkungannya ada sekelompok remaja dengan geng motornya. Tegur dengan halus atau beri tindakan keras sebelum mereka membentuk koloni yang memengaruhi remaja lainnya.

Sekolah tempat anggota geng motor sekolah juga harus peka. Perhatikan kendaran yang digunakan ke sekolah. Pembinaan bukan sekadar nasihat-nasihat di kelas. Kalau ada siswanya terindikasi masuk geng motor, panggil secara personal oleh pembina siswa dan segera sadarkan mereka dari perbuatan sesat semacam itu. Jika tidak mempan, panggil sekalian orangtuanya. Mungkin kekeliruan ada di pihak orangtua yang memanjakan anak-anaknya dengan motor.

Aparat kepolisian harus rutin berkoordinasi dengan sekolah, memberikan pengarahan bahaya geng motor. Jangan lagi kasihan kepada anggota geng motor, dengan menganggapnya sebagai kenakalan remaja biasa, sebab perilaku berulang ini akibat sanksi yang tidak membuat mereka jera. Sekali lagi, operasi rutin knalpot kendaraan tidak standar harus mulai dipikirkan sebagai prioritas pemberantasan geng motor. Prosedur permohonan SIM juga harus benar-benar teruji, jangan lagi dimudahkan dengan cara calo.

Kita bukannya tidak kasihan melihat generasi muda, yang terjerat dalam himpunan sesat geng motor. Kita mengutuk lingkungan tempat remaja berhimpun dalam geng motor sebab jelas-jelas membunuh karakter remaja. Pada lingkungannya itu, mereka berencana berbuat kriminal sehingga makin dibiarkan makin kuat karakter jahatnya.

Akhirnya, berpulanglah pada rumah sebagai madrasah pertama mendidik anak-anak remaja. Orangtua perlu menanamkan kemandirian anak-anaknya yang sudah remaja SMP dan SMA, tetapi tidak memberinya motor. Biarkan mereka merasakan peluh dengan menaiki kendaraan umum. Aparat kepolisian dan pengelola pendidikan harus lebih serius menangani persoalan ini, sebab perilaku anak remaja SMP-SMA yang berhimpun dalam geng motor sudah bukan lagi perkara pencarian identitas, melainkan perkara salah gaul dan salah didik. Pembinaan tegas perlu dikedepankan, lalu posisikan kembali anggota geng motor agar menjadi manusia sebenar-benarnya, manusia yang berakhlak.

(Edi Warsidi, penulis, pengajar di Program Studi Editing, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran)

Sumber: Harian Umum Galamedia - Senin, 6 Desember 2010



0 comments:

Posting Komentar