Home » » Membunuh Berhala di Hari Raya Idul Adha

Membunuh Berhala di Hari Raya Idul Adha

SECARA psikologis, pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang berpotensi melahirkan kekuatan imperialisme yang menjajah keakuan seseorang yang paling polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Pakaian dan jabatan sekadar stiker yang setiap saat bisa lepas dan dilepas. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah adalah kadar iman dan amal salehnya.

Guna meraih kembali kesadaran eksistensial itu, seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan pergi haji; meninggalkan rumah, pekerja, dan status sosialnya supaya merdeka dari sifat self centered. Untuk itu, ibadah haji diawali dengan melepaskan pakaian sehari-hari (pakaian dalam arti yang seluas-luasnya).

Tatkala seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan aneka kesadaran palsu harus dikubur, lalu dibangkitkan kesadaran baru, yakni penghayatan kemanusiaan universal. Mereka datang dengan niat dan status yang sama. Tidak ada yang merasa unggul di mata Allah dari yang lain, kecuali tingkat takwanya.

Oleh sebab itu, secara psikologis, ibadah haji merupakan upacara 'kematian' dalam rangka menemukan makna dan mutu hidup yang lebih sejati, yakni matinya kesadaran palsu dan sifat buruk (yang antara lain ditimbulkan oleh prestasi duniawi nan memabukkan serta merendahkan harkat kemanusiaannya).

Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji membaca talbiyah (pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Alloh). Suasana batin ini hendaknya hanya diisi dengan kesadaran 'aku-Engkau' dan semua urusan duniawi ditinggalkan supaya bisa memasuki orbit keasadaran transendental secara intens.

Dalam proses ibadah haji, pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan hanya diarahkan untuk mendekati Allah. Singkatnya, semua nafsu egositik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan miraj, mendekati Allah sehingga membangun pribadi tangguh (yang terpancar sifat ilahi).

Upaya mendekati (bahkan memeluk) Allah, secara simbolik diperagakan dalam gerakan berputar mengelilingi Ka'bah (tawaf). Hajar Aswad (Batu Hitam) sebagai titik tolak gerakan tawaf bagaikan tangan Allah yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke baitullah untuk melakukan audiensi.

Dengan menjulurkan tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada 'jauh di seberang sana'. Dengan menjabat tangan Allah, seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya: hidup dan mati milik Allah, semua fasilitas hidup dan prestasi yang diraih nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya, bahkan keluarga, semuanya akan bermakna selama mendekatkan diri dengan sang Khalik agar meningkatkan amalkebaikan sebagai wujud rasa syukur atas segala rahmat yang dilimpahkan-Nya.

Makna dan hikmat tawaf sejatinya berimplikasi pada siklus menjalani rutinitas kehidupan. Sebagaimana tawaf di Mekah, agar aktivitas sehari-hari ini menjadi bermakna (secara psikologis) hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu sehingga nurani kita makin tajam untuk membedakan mana tindakan yang merusakkan harkat kemanusiaan kita dan sebaliknya.

Puncak ibadah haji --wukuf di Arafah-- tidak lain merupakan semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Allah dan semesta. Dengan wukuf (yang bermakna berdiam diri) diharapkan seorang Muslim mendapatkan makrifat (the wisdom of life) sehingga saat kembali ke masing-masing negara, telah lahir manusia baru nan penuh kearifan hidup.

Di samping proses haji, sesungguhnya di balik ritual haji yang sarat simbol itu tersimpan pesan sosial untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dan fungsional, pesan dan sasaran ibadah haji ialah agar kita memang dalam pergaulan hidup sehari-hari sehingga meraih makna dan prestasi hidup nan sejati.

Misalnya, di antara pesan ibadah haji adalah agar seorang Muslim menumbuhkan etos pengorbanan. Itulah sebabnya hari raya haji juga dikatakan sebagai Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Ada banyak petunjuk yang amat kuat bahwa masyarakat kita dilanda krisis semangat pengorbanan. Sebaliknya, yang ada adalah semangat untuk mengambil bukannya memberi. Parahnya, jika yang diambil itu adalah sesuatu yang bukan hak miliknya.

Figur utama dalam sejarah haji adalah Nabi Ibrahim, yang secara dramatis memberi teladan bahwa pengorbanan pertama dilakukan ialah membunuh berhala (dalam bentuk mencintai anaknya, Nabi Ismail) -jangan sampai cinta pada anak menutupi hatinya untuk mencintai Alloh dan sesama makhluk.

Bukankah cukup banyak contoh bahwa cinta anak secara berlebihan (lebih-lebih jika seorang penguasa) membuat rasa keadilan dan kemanusiaannya cenderung tumpul? Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan (besar atau kecil) sebab didorong oleh cinta pada anak secara tidak proporsional?

Mungkin sekali, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya memuat pesan pembebasan dari perilaku korup dan serakah seperti itu.

(Edi Warsidi, pengajar di Program Studi Editing, Fakultas Sastra, Unpad)

Sumber: Tribun Jabar-Rabu, 17 November 2010


0 comments:

Posting Komentar