Home » » Guru Jangan Takut Menulis

Guru Jangan Takut Menulis

Salah satu koran di Bandung mewartakan kecemasan guru ketika disuruh menulis artikel. Pada alenia pertama, harian tersebut menulis, ”Sekitar setahun lagi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya berlaku efektif. Sebagian guru mempersoalkan peraturan tersebut. Sebab, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu setiap naik golongan kepangkatan, guru wajib membuat artikel yang dimuat media massa.”

Berita tersebut menggelitik untuk dikomentari. Pada satu sisi, tampak sekali ketidakmampuan para pendidik untuk menuangkan berbagai gagasan yang ada di sekitarnya. Padahal, idealnya guru mampu memaknai profesinya dengan cara ’mengikatnya’ dengan tulisan.

Zaman sekarang, kecerdasan guru bukan saja tampak dari kemahirannya menyampaikan materi ajar atau membina sikap siswanya, melainkan ia juga dituntut mampu menjadi penyampai gagasan yang berguna untuk masyarakat luas atau setidaknya karya tulis sang guru mampu memotivasi siswanya. Pertanyaan kemudian menyeruak, sudahkah kebiasaan menulis di kalangan guru itu dijadikan kebiasaan atau kebutuhan? Mengapa timbul keresahan?

Keresahan kaum guru itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika kegiatan tulis-menulis dipandang sebagai kebutuhan. Sulitkah membuat karya tulis? Untuk guru yang terbiasa menulis, aktivitas menulis sudah pasti merupakan kegiatan yang menyenangkan. Apalagi zaman sekarang, semua fasilitas untuk melakukan kegiatan menulis (berbagai karya tulis) terbuka lebar. Segudang buku tentang teknik, metode, cara, kiat menulis sudah berkali-kali ditulis orang dan dicetak ulang. Internet menawarkan sejumlah informasi, termasuk di dalamnya segudang kiat menulis dipaparkan dengan sangat gamblangnya.

Adakah cara cepat untuk mampu menulis artikel di media massa? Semua berpulang pada kompetensi para guru, tetapi rasa-rasanya agak aneh jika guru tidak mampu menulis sesuatu yang dicintai dan dikuasainya. Kata ahli menulis, ketakmampuan menulis itu disebabkan (salah satunya) seseorang enggan berlatih. Kegiatan latihan menulis ini sebaiknya dilakukan antarguru bersangkutan dengan berbagai cara. Misalnya, saling menilai karya tulis guru atau kalau perlu menghadirkan guru yang biasa menulis di media massa. Tidak ada salahnya, kaum guru pun bergabung dalam grup atau komunitas menulis. Dengan bergabung dalam komunitas tulis-menulis, setidaknya kepercayaan diri dan keberanian guru untuk menyampaikan gagasan melalui tulisan dapat didongkrak.

Penulis sangat yakin kaum guru adalah pembaca buku yang baik, pelisan (pelaku diskusi) yang aktif dengan semua orang, dan penyampai gagasan yang mumpuni. Ketiga hal inilah yang mendasari filsuf Inggris, Francis Bacon, mendalilkan sesuatu: reading makes a full man, conversation a ready man, writing an exact man (pembacaan menghasilkan seorang yang lengkap, percakapan menghasilkan seorang yang siap, dan penulisan menghasilkan seorang yang saksama). Mudah-mudahan hal ini menjadikan guru lebih berani menulis dan menjadikan menulis sebagai kebutuhan, bukan tekanan, apalagi keluhan! Artinya, kecakapan menulis tidak semata-mata karena adanya adanya tuntutan cum atau peraturan yang mensyaratkan guru PNS wajib menulis.***

(Edi Warsidi, penulis, pengajar di Yayasan Sabili, editor, serta pengajar (LB) mata kuliah penulisan dan penerbitan di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.)

Dimuat di H.U. Pikiran Rakyat, Senin 10 Oktober 2011


0 comments:

Posting Komentar