Home » » Mengapa Ada Komersialisasi Seks?

Mengapa Ada Komersialisasi Seks?

Ada ungkapan berbunyi, ”Seks adalah ekspresi cinta …” Di tengah maraknya razia tempat prostitusi terbuka,  terselubung, dan terbongkarnya praktik prostitusi daring (online), ungkapan tersebut sepertinya bisa jadi sudah tidak relevan lagi. Seks bukan sekadar ungkapan rasa cinta yang mendalam dari sepasangan insane yang dimabuk cinta, melainkan seks telah menjadi sesuatu yang bersifat komersial atau bernilai ekonomis. Nilai ekonomis yang dimilikinya menyebabkan ia pun harus mengikuti hukum ekonomi, yakni jika ada permintaan, ada pulapenawaran. Seks bukan lagi sesuatu yang sakral, melainkan tidak lebih berharga dari benda kebutuhan manusia yang lain.  Ia bisa dibeli layaknya makanan yang dapat dibeli kapan pun jika kita lapar. Tidak perlu lagi ada sentuhan cinta di dalamnya.

Bisnis prostitusi dengan berbagai bentuk telah berkembang pesat. Sumbangan dalam menambah devisa negara tentu juga tidak kecil. Pada 1995 di Indonesia tercatat ada 65.582 wanita yang bekerja sebagai pramusyahwat. Jika ditambah dengan mereka yang nyambi atau kerja rangkap bisa mencapai angka 500.000. Hasil dari industri seks ini diperkirakan US$ 1,27 miliar sampai US$ 3,6 miliar atau sama dengan 4%—11% APBN 1995.

Seks kini telah menjadi komoditas yang merupakan mesin uang, baik untuk pelaku (terlepas dari motif yang menggerakkannya), germo, dan penyedia fasilitas, maupun negara sekalipun. Akan tetapi, sebetulnya sejak kapan prostitusi itu dikomersialkan dan dijadikan komoditas ekonomi?

Pelacuran telah ada sejak berabad-abad lalu. Peran yang dilakoni pun beragam. Dari Hetaere yang dihormati di Yunani hingga para gadis candi (temple maidens) yang karena tuntutan kultural menyerahkan kegadisannya, tetapi justru karena itu ia mendapatkan kehormatan. Akan tetapi, berbeda dengan Meretrice yang sungguh dihina oleh masyarakat Romawi. Sementara Meselina, istri dari Kaisar Claudius (Roma) menjadi tersohor berabad-abad lamanya sebab keroyalannya dalam mengobral nafsu dengan ratusan pria yang dibayarnya dengan tumpukan uang emas. Bahkan, antara 639—559 sM di Solon dalam undang-undangnya telah diketahui arti pelacuran, yakni penyerahan diri kepada banyak pria dengan pembayaran.

Di Indonesia, cikal bakal berkembangnya prostitusi dapat ditelusuri kembali hingga hingga masa kerajaan-kerajaan Jawa tempat perdagangan perempuan saat itu merupakan pelengkap dari sistem feodal. Misalnya, kekuasaan raja di Mataram sangat tidak terbatas. Pun dalam hal wanita. Hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya.

Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi adalah persembahan kerajaan negara lain. Ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut memiliki keterkaitan dengan keluarga istana. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa. Di Bali, misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara automatis menjadi milik raja.

Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang dikenal sekarang ini. Akan tetapi, apa yang terjadi saat itu telah menjadi landasan untuk perkembangan industri prostitusi saat ini.

Bentuk industri prostitusi yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan. Pemusatan seks digunakan oleh para serdadu dan pedagang. Hal ini menjadi sebuah dilema, tetapi kondisi tersebut ditunjang oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas seks menjadi tersedia. Terutama karena banyaknya keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapat imbalan materi dari pelanggannya.Di sisi lain, adanya pelarangan hubungan antar-ras, menyebabkan munculnya hubungan gelap yang pada umumnya hanya dilandasi dengan motivasi komersial.

Selain itu, sepanjang pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya pada 1884, juga menyebabkan suburnya tempat lokalisasi. Sejak saat itu, muncullah Saritem, Sukamanah, Kebon Jeruk, dan Kebon Tangkil di Bandung. Pasar Kembang, Mbalokan, dan Sosrowijayan di Yogyakarta. Di Surabaya berkembang di sekitar stasiun Semut dan dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangun Sari.

Komersiaisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan Jepang (1941—1945). Wanita yang telah bekerja sebagai penghibur dikumpulkan dan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, sebagian ditempatkan di rumah bordir  untuk melayani syahwat serdadu Jepang. Sementara sebagian lagi tetap beroperasi di tempat biasanya (lokalisasi).

Demikianlah industri seks di Indonesia menjadi semakin rumit bersamaan dengan meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat, dan tantangan yang dihadapi. Prostitusi mungkin hanya bisa dikurangi atau diminimalkan. Hal ini pun baru bisa terjadi jika kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta tingkat pendidikan rakyat tinggi. Terjadinya keseimbangan jumlah tenaga kerja dengan lapangan kerja yang tersedia, terciptanya supremasi hukum tanpa pandang bulu. Elemen masyarakat, pemerintah, dan rohaniwan harus menciptakan kondisi lingkungan yang baik serta mengarah pada pemecahan masalah.

Tidak hanya menuduh pelacur sebagai pendosa. Manusia tidakbisa menyalahkan dan melabeli seseorang dari satu sudut pandang; tanpa tahu  motif, penyebab mereka terjun ke dunia hitam. Tiap perbuatan yang dilakukan manusia, hanya Tuhanlah yang dapat menilai.***

1 comments: