Home » , » Refleksi ”Hari Ibu” (22 Desember) Cerita tentang Ibu

Refleksi ”Hari Ibu” (22 Desember) Cerita tentang Ibu

SUNGGUH hingga saat ini aku bersentuhan dengan keyboard mesin komputer, tidak banyak yang bisa aku pikirkan tentang ibu. Lima seri klotski plus solitaire yang tidak habis-habis, tidak mampu menstimulasi untuk membayangkan "5W+1H"-nya sang ibu. Ternyata aku tidak cukup kenal dengan sesungguhnya arti kehadiran ibu dalam hidup ini. Untung saja aku kenal perempuan. Dengan itulah aku mulai mereka-reka cerita tentang ibu.

Ibuku seorang perempuan, tentu saja. Seberapa perempuan ia? Aku tidak tahu persis. Akan tetapi, aku berang kepada Aristoteles--kalau benar--yang menyebut perempuan sebagai makhluk yang belum selesai, yang bertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Aku mencintai ibuku justru lebih karena ia seorang perempuan, makhluk yang memberikan banyak pilihan cinta.

Hal yang membedakan perempuan dengan aku (aku seorang pria) secara pasti adalah bahwa ibuku (yang mewakili perempuan) bisa mengandung dan melahirkan aku, sedangkan aku tidak bisa melahirkan siapa pun. Tentu saja maksud aku, hanya pada sekitar penciptaan biologis itulah aku dapat melihat perbedaan mutlak. Selanjutnya, terserah Anda! Barangkali dengan keterbatasan itulah kemudian perempuan harus berusaha mencari dan meneguhkan jatidirinya supaya beda dengan kaum pria. Menjadi ibu, misalnya.

Melihat perempuan-perempuan terdekat sering kita terjebak dalam menempatkan umumnya perempuan dengan pria yang kurang lebih sama: memperlakukannya dengan lemah lembut, senantiasa berusaha melindunginya, memuja-muja keindahannya dan banyak lagi perlakukan khususnya, sampai kemudian aku tersadarkan oleh kemampuan agresivitasnya. Mekanisme--"serang" kaum perempuan, bukankah pada akhirnya harus diakui dunia betapa ia sanggup ”mengkolang-kalingkan” setiap aspek kehidupan? Jujur aku  akui bahwa dunia tidak akan mampu memiliki kaum perempuan dengan mengecil-kecilkan kemampuannya.

Sewaktu dengan seorang perempuan menonton pertandingan sepakbola, aku tawarkan kepada perempuan itu posisi kiper (penjaga gawang). Mengapa? Dalam sebuah pertandingan sepakbola, kiper itu adalah benteng pamungkas sekaligus penyerang utama. (Dia menolak. Baginya, lebih baik menonton saja sambil sesekali bertepuk tangan). Aku menjelaskan kembali bahwa peran seperti itu sangat vital dan kurang lebih sebanding dengan sepuluh orang lainnya. Sebagian terbesar serangan itu dibangun dari bola umpan kiper dan pada saat bertahan keberadaan kiperlah yang menentukan kesebelasan itu kalah atau tidak. (Dia tidak tertarik dan—kebetulan—malah semakin keras menepuktangani pertandingan itu).

Menguhubungkan dengan pendidikan, misalnya—aku dapat membanding-bandingkan peranan yang ditanggungjawabi antara pria dan perempuan. Seperti kiper yang mengumpan bola untuk membangun serangan, perempuan—dengan  menjadi ibu—adalah madrasah pertama. Dengan kesempatan yang dimilikinya untuk bersentuhan dengan sang anak, sebelum orang lain, perempuan adalah yang pertama-tama mengajarkan dunia kepada anaknya (laki-laki atau perempuan). Pada kesempatan lain, untuk persoalan yang sama, ibulah yang tampil mempertahankan gawang pertahanan pendidikan sang anak dari pengaruh luar yang dianggap buruk.

Mengapa kawan perempuan aku menolak untuk menjadi seorang kiper? Barangkali demikianlah ia cukup tersenyum dan mengangguk saja waktu aku bilang, ia menganggap sepakbola itu permainan kaum pria. Sayang sekali aku tidak mampu memberikan analogi lain kepadanya. Seandainya aku lebih romantis, barangkali sepakbola bisa aku ceritakan dengan lemah lembut dan manis.

Sekarang, benarkah perempuan itu selalu dipaksa untuk melihat dunia sebagaimana yang dikehendaki kaum pria? Oleh karena itu, mereka membuat semacam gerakan persamaan macam feminisme patut diperjuangkan? Sayang sekali, aku berada dalam lingkungan baik-baik yang memperlakukan perempuan dengan baik sehingga tidak bisa melihat langsung macam pelanggaran hak perempuan. Jadi, pilihannya bicara persamaan atau pertidaksamaan hak atau bicara baik-baik. Itu saja!

Agamaku menjawab persoalan perempuan ini cukup gamblang. Contohnya untuk hak pemilikan hasil usaha, ayat 32 surat keempat kitab suciku menyebutkan, "…dan  bagi orang laki-laki ada bagian apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dan apa yang mereka usahakan." Pada ranah kelahirannya bahkan agamaku adalah yang pertama-tama memperjuangkan persamaan derajat bagi kaum perempuan. Kalau Anda percaya kepada niat baik agama, tidak mungkin ajarannya menganjurkan ketidakbaikan kepada umatnya sendiri.

Pada 10 Desember 1994, Republika memuat kolom tentang feminisme, "Mengapa Feminisme Tak Disukai?" Prof. Dr. Toety Heraty Noerhadi, yang dirujuknya dari satu sesi seminar, memberikan alasan eksistensi feminisme dari ketidakadilan sosial dan eksistensial. Memang, tidak jarang kita jumpai berbagai ketidakadilan  bagi kaum perempuan dalam kasus-kasus paling konkret semacam pelecehan  seksual sampai tindak perkosaan. Itu realitas yang terjadi seiring dekadensi sosial lainnya. Memerlukan pengorbanan yang sebanding dan menyeluruh.

Aku teringat kepada ibuku yang tidak menolak melahirkan dan membesarkan aku. Aku teringat, betapa selalu kurindukan (bahkan sampai kini) pulang ke rumah untuk berbincang-bincang dengan ibu tentang segala hal. Aku tidak yakin dia pernah membaca Betina-Perempuan-Wanita karya Umar Junus (di majalah Prisma No. 4 April 1979), ketika mengurai pandangan tentang hakikat perempuan. Setiap perjumpaannya dengan semesta pengalaman menjadi seorang ibu adalah satu-satunya rujukan. Begitu dalam dan indah!

Ibuku ternyata menyepakati pemikiran Comte yang dinukil dari buku Barbara Rogers, The Domestication of Women Discsimination in Developing Societies (1980), "Hidup perempuan terpusat pada rumah tangga dan terhindar  dari segala  perkerjaan di luar rumah, dengan demikian laki-laki dapat menjamin kebutuhan emosional perempuan." Pemikiran tersebut tentunya tidak melulu benar, dan oleh karenanya bisa kita pakai utuh-utuh. Aku melihat, ibu melakukan persesuaian di sana-sini untuk menjaga kesadaran atas inisiatifnya. Aku bayangkan betapa bijaknya, seorang ibu tetap melakukan aktivitasnya di luar rumah tanpa kepergok anaknya. Sang anak, tanpa sadar ibunya sempat bekerja di luar, pulang ke rumah, dan tetap bisa menikmati saat-saat bersama sang ibu. Aduhai indahnya!

Suatu ketika kawan perempuanku mempertanyakan pemerolehan pendidikan yang diperjuangkannya sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Untuk apa? Aku menjawab hakikat pendidikan itu bukan hanya bahwa ia memudahkan manusia bekerja. Pendidikan adalah untuk pendidikan.

Sebagaimana digagas Kartini Kartono dalam buku Pengantar Ilmu Mendidik Teoretis, Apakah Pendidikan Masih Diperlukan?—pendidikan adalah kegiatan yang disengaja dan bertujuan mengembangkan potensionalitas kemungkinan kemampuan, bakat-bakat, dan  totalitas kepribadian anak manusia yang diarahkan pada kedewasaan kemandirian pribadi, serta untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Jadi, keharusan perempuan untuk memperoleh atau mencari pendidikan adalah juga niscaya.

Beberapa saat aku termenung di depan layar komputer. Membayangkan, seandainya kelak ibu dari anak-anakku adalah seorang lulusan perguruan tinggi, berbahagialah anak-anakku karena memiliki kesempatan mendapat pendidikan berderajat tinggi.

0 comments:

Posting Komentar