SUNGGUH hingga saat ini aku bersentuhan dengan keyboard mesin komputer,
tidak banyak yang bisa aku pikirkan tentang ibu. Lima seri klotski plus
solitaire yang tidak habis-habis, tidak mampu menstimulasi untuk membayangkan
"5W+1H"-nya sang ibu. Ternyata aku tidak cukup kenal dengan
sesungguhnya arti kehadiran ibu dalam hidup ini. Untung saja aku kenal
perempuan. Dengan itulah aku mulai mereka-reka cerita tentang ibu.
Ibuku seorang perempuan,
tentu saja. Seberapa perempuan ia? Aku tidak tahu persis. Akan tetapi, aku
berang kepada Aristoteles--kalau benar--yang menyebut perempuan sebagai makhluk
yang belum selesai, yang bertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Aku
mencintai ibuku justru lebih karena ia seorang perempuan, makhluk yang
memberikan banyak pilihan cinta.
Hal yang membedakan
perempuan dengan aku (aku seorang pria) secara pasti adalah bahwa ibuku (yang
mewakili perempuan) bisa mengandung dan melahirkan aku, sedangkan aku tidak
bisa melahirkan siapa pun. Tentu saja maksud aku, hanya pada sekitar penciptaan
biologis itulah aku dapat melihat perbedaan mutlak. Selanjutnya, terserah Anda!
Barangkali dengan keterbatasan itulah kemudian perempuan harus berusaha mencari
dan meneguhkan jatidirinya supaya beda dengan kaum pria. Menjadi ibu, misalnya.
Melihat
perempuan-perempuan terdekat sering kita terjebak dalam menempatkan umumnya
perempuan dengan pria yang kurang lebih sama: memperlakukannya dengan lemah
lembut, senantiasa berusaha melindunginya, memuja-muja keindahannya dan banyak
lagi perlakukan khususnya, sampai kemudian aku tersadarkan oleh kemampuan
agresivitasnya. Mekanisme--"serang" kaum perempuan, bukankah pada
akhirnya harus diakui dunia betapa ia sanggup ”mengkolang-kalingkan” setiap
aspek kehidupan? Jujur aku akui bahwa dunia
tidak akan mampu memiliki kaum perempuan dengan mengecil-kecilkan kemampuannya.
Sewaktu dengan seorang
perempuan menonton pertandingan sepakbola, aku tawarkan kepada perempuan itu
posisi kiper (penjaga gawang). Mengapa? Dalam sebuah pertandingan sepakbola,
kiper itu adalah benteng pamungkas sekaligus penyerang utama. (Dia menolak.
Baginya, lebih baik menonton saja sambil sesekali bertepuk tangan). Aku menjelaskan
kembali bahwa peran seperti itu sangat vital dan kurang lebih sebanding dengan
sepuluh orang lainnya. Sebagian terbesar serangan itu dibangun dari bola umpan
kiper dan pada saat bertahan keberadaan kiperlah yang menentukan kesebelasan
itu kalah atau tidak. (Dia tidak tertarik dan—kebetulan—malah semakin keras
menepuktangani pertandingan itu).
Menguhubungkan dengan
pendidikan, misalnya—aku dapat membanding-bandingkan peranan yang
ditanggungjawabi antara pria dan perempuan. Seperti kiper yang mengumpan bola
untuk membangun serangan, perempuan—dengan
menjadi ibu—adalah madrasah
pertama. Dengan kesempatan yang dimilikinya untuk bersentuhan dengan sang anak,
sebelum orang lain, perempuan adalah yang pertama-tama mengajarkan dunia kepada
anaknya (laki-laki atau perempuan). Pada kesempatan lain, untuk persoalan yang
sama, ibulah yang tampil mempertahankan gawang pertahanan pendidikan sang anak
dari pengaruh luar yang dianggap buruk.
Mengapa kawan perempuan
aku menolak untuk menjadi seorang kiper? Barangkali demikianlah ia cukup
tersenyum dan mengangguk saja waktu aku bilang, ia menganggap sepakbola itu
permainan kaum pria. Sayang sekali aku tidak mampu memberikan analogi lain
kepadanya. Seandainya aku lebih romantis, barangkali sepakbola bisa aku
ceritakan dengan lemah lembut dan manis.
Sekarang, benarkah
perempuan itu selalu dipaksa untuk melihat dunia sebagaimana yang dikehendaki
kaum pria? Oleh karena itu, mereka membuat semacam gerakan persamaan macam
feminisme patut diperjuangkan? Sayang sekali, aku berada dalam lingkungan
baik-baik yang memperlakukan perempuan dengan baik sehingga tidak bisa melihat
langsung macam pelanggaran hak perempuan. Jadi, pilihannya bicara persamaan
atau pertidaksamaan hak atau bicara baik-baik. Itu saja!
Agamaku menjawab persoalan
perempuan ini cukup gamblang. Contohnya untuk hak pemilikan hasil usaha, ayat
32 surat keempat kitab suciku menyebutkan, "…dan bagi orang laki-laki ada bagian apa yang
mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dan apa yang mereka
usahakan." Pada ranah kelahirannya bahkan agamaku adalah yang pertama-tama
memperjuangkan persamaan derajat bagi kaum perempuan. Kalau Anda percaya kepada
niat baik agama, tidak mungkin ajarannya menganjurkan ketidakbaikan kepada
umatnya sendiri.
Pada 10 Desember 1994, Republika
memuat kolom tentang feminisme, "Mengapa Feminisme Tak Disukai?"
Prof. Dr. Toety Heraty Noerhadi, yang dirujuknya dari satu sesi seminar,
memberikan alasan eksistensi feminisme dari ketidakadilan sosial dan
eksistensial. Memang, tidak jarang kita jumpai berbagai ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam kasus-kasus paling
konkret semacam pelecehan seksual sampai
tindak perkosaan. Itu realitas yang terjadi seiring dekadensi sosial lainnya.
Memerlukan pengorbanan yang sebanding dan menyeluruh.
Aku
teringat kepada ibuku yang tidak menolak melahirkan dan membesarkan aku. Aku
teringat, betapa selalu kurindukan (bahkan sampai kini) pulang ke rumah untuk
berbincang-bincang dengan ibu tentang segala hal. Aku tidak yakin dia pernah
membaca Betina-Perempuan-Wanita karya Umar Junus (di majalah Prisma No. 4 April 1979), ketika
mengurai pandangan tentang hakikat perempuan. Setiap perjumpaannya dengan
semesta pengalaman menjadi seorang ibu adalah satu-satunya rujukan. Begitu
dalam dan indah!
Ibuku
ternyata menyepakati pemikiran Comte yang dinukil dari buku Barbara Rogers, The Domestication of Women Discsimination in
Developing Societies (1980), "Hidup perempuan terpusat pada rumah
tangga dan terhindar dari segala perkerjaan di luar rumah, dengan demikian
laki-laki dapat menjamin kebutuhan emosional perempuan." Pemikiran tersebut tentunya tidak melulu benar, dan oleh
karenanya bisa kita pakai utuh-utuh. Aku melihat, ibu melakukan persesuaian di
sana-sini untuk menjaga kesadaran atas inisiatifnya. Aku bayangkan betapa
bijaknya, seorang ibu tetap melakukan aktivitasnya di luar rumah tanpa kepergok
anaknya. Sang anak, tanpa sadar ibunya sempat bekerja di luar, pulang ke rumah,
dan tetap bisa menikmati saat-saat bersama sang ibu. Aduhai indahnya!
Suatu ketika kawan
perempuanku mempertanyakan pemerolehan pendidikan yang diperjuangkannya sejak
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Untuk apa? Aku menjawab hakikat
pendidikan itu bukan hanya bahwa ia memudahkan manusia bekerja. Pendidikan adalah
untuk pendidikan.
Sebagaimana digagas
Kartini Kartono dalam buku Pengantar Ilmu
Mendidik Teoretis, Apakah Pendidikan Masih Diperlukan?—pendidikan adalah
kegiatan yang disengaja dan bertujuan mengembangkan potensionalitas kemungkinan
kemampuan, bakat-bakat, dan totalitas
kepribadian anak manusia yang diarahkan pada kedewasaan kemandirian pribadi,
serta untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Jadi, keharusan
perempuan untuk memperoleh atau mencari pendidikan adalah juga niscaya.
Beberapa saat aku
termenung di depan layar komputer. Membayangkan, seandainya kelak ibu dari
anak-anakku adalah seorang lulusan perguruan tinggi, berbahagialah anak-anakku
karena memiliki kesempatan mendapat pendidikan berderajat tinggi.
0 comments:
Posting Komentar