Home » » Demokrasi Kita Semodel dengan Kawin Siri

Demokrasi Kita Semodel dengan Kawin Siri

TERLEPAS dari desas-desus tentang ketua partai mengendalikan presiden memang perlu diluruskan. Akar masalah pada perpolitikan kita sederhana saja. Kita ini mendua hati dalam memilih dan mengamalkan sistem demokrasi. Dikatakan demokrasi parlementer, cita rasa kita malah kuat pada rasa demokrasi presidensial yang seolah-olah presidenlah yang kuat dan mengatasi semua parpol dan golongan.

Dikatakan menganut sistem demokrasi presidensial, cita rasa kita malah kuat mengamalkan demokrasi parlementer. Akibatnya, kita dalam berpolitik menyangka bertumpu pada keyakinan, padahal kita berpolitik atas dasar salah sangka.

Dalam demokrasi parlementer, isu sentral tentang ketua partai mengontrol presiden, malah terlalu mendua dan tidak jelas. Ketua partai dalam sistem ini malah diproyeksikan sebagai calon presiden kalau partainya dan partai-partai yang berkoalisi dengannya memenangi pilpres.

Dalam sistem demokrasi presidensial, calon presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui partai yang mengusungnya. Akan tetapi, akar dukungannya jelas. Meskipun diusung partai, seorang calon presiden harus memenangi konvensi yang diadakan partai. Konvensi partai bukan dipilih oleh anggota DPC, DPD, dan DPP partai, melainkan dipilih oleh masyarakat yang diasumsikan simpatisan atau pendukung ideologis partai tersebut. Jadi, ketika seorang capres yang lolos partai lewat konvensi, automatis ia punya akar dukungan yang kuat di masyarakat meskipun dari berbagai elemen masyarakat pendukung partai yang mengusung si capres tersebut.


Kalau kita membuat bandingan di negara-negara lain, terlepas penganut sistem parlementer ataupun presidensial, seorang kepala eksekutif tidak mengalami dualisme dukungan antara partai dan masyarakat. Misalnya, seorang calon perdana menteri dalam sistem parlementer, karena dari awal yang jadi ketua partai memang diproyeksikan sebagai calon kepala pemerintahan, automatis  partai harus kerja keras membangun jaringan dukungan seluas-luasnya dan mengakar di masyarakat, kendatipun hanya sebatas menggalang dukungan dari elemen-elemen masyarakat yang mendukung atau bersimpati pada partai si calon perdana menteri.

Begitu pun si calon presiden dari sistem presidensial, karena dirinya diloloskan oleh partainya berkat dukungan terbanyak masyarakat lewat konvensi partai, si calon presiden sejatinya dapat dukungan mengakar dari masyarakat walaupun dari masyarakat yang pro partai pengusungnya.

Di negara kita, sebuah konsekuensi dalam menganut sebuah sistem yang dipilih, kita ini selalu bersikap mendua hati. Seorang capres diusung oleh partai, tetapi kalaupun lewat konvensi, tetap saja dipilih oleh pengurus partai dari tingkat DPC, DPD hingga DPP. Apalagi kalau jelas-jelas diloloskan semata atas restu ketua umum partai atau oligarki penguasa partai.

Alkisah, begitu ia menang pilpres, dualisme antara rakyat dan partai tidak terhindarkan lagi. Kendatipun  partai menggelar konvensi untuk meloloskan capres tertentu, tetap saja tidak melibatkan berbagai elemen masyarakat yang justru menjadi basis sosial atau basis budaya partai yang bersangkutan.

Dalam kasus Jokowi atau bahkan SBY sebagai presiden terdahulu, yang sama-sama produk pilpres langsung, modal dasarnya untuk jadi presiden, hanya dukungan suara dari para pemilih, tanpa adanya dukungan dari barisan. Punya pendukung, tetapi tidak punya barisan.

Masalah krusial bagi negara kita, ketika seorang presiden hanya bertumpu pada dukungan suara pemilih tanpa ditopang oleh sebuah barisan, secara de facto ia dikendalikan oleh sebuah barisan yang tidak ada kaitannya dengan aspirasi pemilih pada pilpres.

Dalam setting politik yang mendua model seperti itu, seorang presiden merasa bebas untuk mengumbar janji, tetapi tidak merasa perlu membuat komitmen. Karena dukungan yang ia peroleh lewat partai yang tanpa melalui konvensi yang mengakses akar-akar dukungan di masyarakat, dukungan yang diraih capres lewat para pemilih di pilpres langsung, yakni dukungan lepas tanpa ikatan. Hal ini semodel dengan kawin siri saja! Tampaknya demokrasi kita tengah membusuk.

1 comments: