Home » » Renungan atas Pemblokiran Situs Dakwah Islam Kaji Ulang Makna Radikalisme

Renungan atas Pemblokiran Situs Dakwah Islam Kaji Ulang Makna Radikalisme

PEMBLOKIRAN situs dakwah oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) didasarkan atas permintaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Belasan situs yang diblokir dituding menyebarkan radikalisme di Indonesia. Pemblokiran itu menuai protes dari kalangan umat dan tokoh Islam. Salah satunya, Slamet Effendi Yusuf (Ketua PB NU), yang mengingatkan agar pemerintah bertindak cermat dalam menangani isu radikalisme. Upaya penutupan paksa situs dakwah itu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat Indonesia, seperti MUI dan ormas Islam. Bahkan, perlu juga dikaji ulang makna radikalisme itu sendiri (http://www.republika.co.id).

Sebenarnya radikalisme banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di jagat ini. Dalam masa pascaperang dingin, fokus pergunjingan di dunia ialah istilah radikalisme Islam. Isu pokok dalam pergunjingan ini, yaitu munculnya berbagai gerakan ”Islam” yang menggunakan berbagai cara kekerasan demi perjuangan mendirikan ”negara Islam”. Hal ini justru menguntung Barat dan sekutunya yang terus menebarkan virus islamo phobia. Oleh sebab itu, definisi radikalisme Islam semakin bias sehingga meliputi pula berbagai bentuk militansi beragama di kalangan muslim diidentikkan dengan ”ekstrimis Islam”, ”Islam radikal, atau ”Islam fundamentalis”. Gambaran ini sebenarnya sudah banyak dipahami masyarakat muslim, tetapi banyak pula yang kebingungan dalam merespon berbagai fenomena itu sebab tumbuhnya mentalitas ketakberdayaan dan rendah diri berhadapan dengan superioritas Barat dan sekutunya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) mendefinisikan radikalisme sebagai paham/aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1984) dijelaskan bahwa radikalisme adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrem, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejewantahan ideologi yang mereka anut. Dari dua acuan ini, radikalisme merupakan upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis, dan ekstrem. Adapun dalam Kamus Ilmiah Populer (1994) disebutkan bahwa radikalisme ialah paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Artinya, definisi ini cenderung bermakna perubahan postif.

Pandangan positif dan negatif terhadap radikalisme tentu bergantung pada cara pandang mewujudkan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum establishment sangat alergi dengan isu radikalisme sebab kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial-politik (sospol) yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan status quo. Keinginan adanya perubahan sospol masih dianggap wajar dan positif jika disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung risiko instabilitas politik dan keamanan. Pada titik ini, radikalisme merupakan wacana sospol yang positif.

Sementara itu, perubahan yang cepat dan menyuluruh (revolusi) selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarki sehingga menghancurkan infrastruktur sospol bangsa dan negara yang mengalami revolusi itu. Dalam makna ini, radikalisme merupakan pemahaman yang negatif, bahkan dikategorikan sebagai bahaya laten ekstrem kiri atau kanan.
Dalam makna yang positif, radikalisme adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik. Dalam istilah agama Islam, radikalisme terbagi menjadi dua irisan, ada yang negatif dan positif. Dalam radikalisme positif ditandai dengan keinginan untuk perubahan kepada yang lebih baik, yang diistilahkan dengan islah (perbaikan) dan tajdid (pembaruan). Dalam makna negatif, radikalisme bersinonim dengan istilah ekstermitas, kekerasan, dan revolusi—yang diistilahkan dengan ghuluw (melampaui batas)  atau ifrath (keterlaluan). Dua irisan yang bertolak belakang ini menyebabkan lahirnya dua gerakan komprontatif di dunia Islam. Pada titik ini, kerancuan generalisasi radikalisme Islam dalam makna serbanegatif sehingga semangat islamo phobia memperoleh tempat penyalurannya. Kedua semangat radikal tersebut dikembarkan karena keduanya menghendaki perubahan total sosial, politik, ekonomi bangsa dan negara meskipun  perbedaan keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak mungkin dipertemukan dari sisi mana pun.

Prinsip radikalisme positif yang diistilah dengan islah dan tajdid, memiliki ciri: menyeru dan mengajarkan ajaran agama yang benar sesuai dengan pemahaman Rasulullah dan para sahabat terhadap Alquran dan hadis, menjauhkan pemahaman agama dari syirik dan bid’ah, membangun karakter taat kepada pemimpin, mencegah sikap memberontak kepada pemimpin, menasihati pemimpin dengan santun, mencegah kemungkaran tanpa menimbulkan risiko kemungkaran baru yang lebih parah, mengikhlaskan bentuk perjuangan semata untuk menggapai rida Allah, mengendepankan sikap sabar berlandaskan nilai agama, merujuk dan tunduk pada kepemimpinan ulama’ ahlul hadist untuk memutuskan urusan besar dan mendasar, dan menjaga persatuan serta kesatuan umat berdasar atas bimbingan Alquran dan as-sunnah. Semua prinsip islah dan tajdid itu merupakan roh gerakan radikalisme positif yang menginginkan perubahan total dengan cara yang benar serta sesuai dengan fitrah kemanusiaan.

Hal itu berlainan jauh dengan prinsip deislamisasi yang menyuburkan islamo phobia, seperti menjauhkan umat dari ilmu agama Islam dengan menyibukkannya di seputar iptek. Ada kesan belajar agama berarti jauh dari belajar iptek dan sebalikya. Upaya ini sangat strategis dalam menciptakan konidisi mengambang di kalangan umat muslim terhadap agamanya. Kemudian, ada pengondisian pemerintah negara-negara Islam untuk terus curiga dan takut dari ”ancaman bahaya Islam” sehingga pemerintah senantiasa bertindak represif dalam memberangus aspirasi keagamaan umat Islam.

Pemblokiran situs dakwah Islam oleh pemerintah diharapkan tidak menimbulkan kesan ”aksi radikal baru” bidang informasi. Untuk mendefinisi kembali makna gerakan radikalisme, pengelola situs, parlemen, pemerintah, MUI, dan ormas Islam perlu duduk bersama-sama. Dalam hal ini, penulis masih yakin bahwa pengelola situs dakwah masih memegang teguh semangat mengajarkan/mendekatkan agama pada umatnya dengan sungguh-sungguh, dengan tanpa mengurangi semangat mempelajari iptek. Dengan demikian, gerakan radikalisme ekstrem dapat dideteksi. Radikalisme ekstrem yang negatif itu sesungguhnya sangat ditentang Islam, bahkan diistilahkan  dengan bid’ah dhalalah (penyimpangan yang sesat). ***           

0 comments:

Posting Komentar