Home » » Belajar Menulis

Belajar Menulis

"Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, tetapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala,” Sayyid Quthub.
Belajar Tekun Menulis kepada Ulama
Sejarah menerangkan bahwa kejayaan Islam pernah diraih melalui budaya baca-tulis.  Bahkan, wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah Saw. mengandung perintah untuk membaca (iqra') dan menulis ('allama bi al-qalam).

Dari sebuah hadis yang berbunyi,  ”Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada”, semangat menulis di kalangan umat Islam, terutama para ilmuwan dan ulamanya, tumbuh sangat luar biasa. Ulama menyadari benar pentingnya menulis. Dengan menulis, ilmu yang mereka miliki akan dapat dipelajari secara berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya.
Acap kali ulama besar tidak bisa lagi melanjutkan pengajaran ilmunya sebab ia telah wafat. Andaikata ia tidak sempat menulis buku atau risalah, generasi penerusnya tidak dapat menimba ilmunya. Oleh sebab itu, menulis untuk seorang ulama yang luas dan dalam ilmunya adalah sangat penting.

Umat Islam patut bersyukur sebab sebagian besar ulama sejak dahulu memiliki akar tradisi menulis yang sangat kokoh. Hal ini terbukti dengan banyaknya literatur Islam klasik yang sempat mereka wariskan (sampai) kepada generasi sekarang. Literatur itu merupakan fakta sejarah yang penting.

**

TRADISI tulis-menulis memiliki adil yang tidak kecil terhadap perkembangan perpustakaan klasik Islam pada abad pertengahan (abad kejayaan Islam). Tanpa adanya tradisi tersebut Bait al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Harun al-Rasyid tidak akan terkenal sebab jumlah bukunya mencapai hampir setengah juta eksemplar. Begitu pula perpusatakaan pribadi milik para sultan waktu itu. Hal yang jelas, semua koleksi perpustakaan itu bergantung pada ketekunan ulama dalam menulis.
Dari sudut perkembangan ilmu, tradisi tulis-menulis juga memunyai andil yang besar. Berbagai aspek ajaran Islam—yang semula bersifat dogmatis dan ritual—telah bertumbuh menjadi suatu disiplin ilmu, seperti ilmu tauhid, fikih, tafsir, qiraat, dan ilmu hadis. Hal tersebut dimungkinkan sebab ulama pada zaman itu, selain tekun berdakwah, juga rajin menulis. Berbagai tulisan mereka yang berupa tafsiran, komentar, perdebatan, ataupun risalah; menjadikan satu aspek dari ajaran Islam berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang sistematis. Tanpa sumbangan intelektual tersebut, peradaban ilmu dalam Islam tidak akan mencapai puncak keemasannya.
Ulama adalah para penulis yang sangat produktif. Misalnya dalam bidang ilmu tafsir, kita mengenal tulisan Muhammad ibnu Jarir at-Thabari, yakni Tafsir ath-Thabari. Kitab tafsir bil ma’tsur yang paling  ”melegenda” itu berjumlah tiga puluh jilid besar. Dalam bidang bahasa, kita mengenal kamus Lisanul Arab buah tangan Ibnu Manzdur. Kamus standar ini terdiri atas sepuluh jilid besar. Sungguh karya ini sangat jauh berbeda dengan kamus kebanggaan rakyat Inggris, Webster, yang hanya berjumlah satu jilid.

Menuntut ilmu dan menulis—yang merupakan salah satu aspek di antara aspek ajaran Islam yang sangat penting; benar-benar menyatu dengan diri ulama. Dalam menuntut ilmu, ulama menjadi teladan sebab keuletan, kegigihan, kesabaran, dan kerelaberkorbananya. Dengan keberanian yang luar biasa, mereka pergi mengembara dari satu wilayah ke wilayah yang lain untuk menuntut ilmu. Biografi Imam Bukhari merupakan salah satu cermin yang menarik dalam pengembaraan ilmiah ini.

Dalam hal menulis, ulama telah menghidangkan kepada kita berbabagai karya intelektual yang bermutu tinggi. Suatu kesalahan yang fatal jika kita meremehkan dan mencampakkan berbagai warisan intelektual Islam yang tiada bandingannya itu.

**

BAGAIMANA dengan tradisi ulama di Tanah Air? Sebagaimana ulama terdahulu, ulama di Indonesia juga dikenal sebagai para penulis andal dan produktif dalam menulis. Kepustakaan Islam Indonesia sudah sejak lama diperkaya dengan Sejarah Melayu karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi Banten,  Bustanus Salatin karya Hamzah Fansuri, Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito hingga karya-karya Buya Hamka, Hasbi ash-Shidiqi, Mahmud Yunus, M. Natsir, dan banyak lagi. Diakui oleh para pemuka agama non-Islam bahwa umat Islam sudah jauh lebih dahulu mentradisikan menulis.
Walaupun masih juga ada ulama yang belum terbiasa menulis, mereka lebih suka memilih berdakwah dengan cara lisan. Hal ini mungkin disebabkan masih kuatnya tradisi lisan di kalangan umat Islam sehingga ajaran Islam di sini lebih mudah dipahami dan dicerna melalui dakwah bil-lisan.

Walaupun dakwah bil-lisan masih merupakan sarana efektif dalam menuntun umat, perlu diimbangi dengan dakwah bil-qalam. Apalagi, minat baca umat Islam Indonesia semakin besar saat ini, bahkan ditopang dengan hadirnya media mayantara (internet) sehingga kondisi ini merupakan lahan subur untuk penanaman nilai-nilai Islam melalui tulisan.
Bagaimanapun tulisan lebih luas jangkauannya. Tulisan dapat dibaca oleh beragam orang dari berbagai kurun dan tempat. Umat Islam sungguh merasa rugi jika seorang kiai atau ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama, tidak sempat menulis. Ilmu-ilmunya akan hilang dan lenyap, bersamaan dengan kewafatannya. Kita, generasi sekarang, tidak dapat lagi memetik mutiara hikmah yang adiluhung nilainya dari mereka.

Pembiasaan dalam Menulis
PROSES menjadi penulis biasanya diawali dengan kebiasaan membaca. Dalam hal ini, kita mengamalkan wasiat Rasulullah saw., uthlubul ilma minal mahdi ilallahdi (tuntutlah ilmu dari buaian hinggga pintu kubur). Anjuran Rasulullah tersebut merupakan penafsiran dari perintah Allah yang pertama dalam Alquran, yaitu Iqra bismirabbika alladzi khalaq (Bacalah! Bacalah dengan nama Rabbmu yang telah menjadikan semua makhluk-Nya).
Hakikat membaca ialah belajar. Hakikat belajar ialah meniru Banyak penulis dan jurnalis memulai belajar menulis berita dengan meniru, bukan dari teori. Esensi meniru ialah berbuat, bukan menonton. Dengan kata lain, langsung menulis dengan meniru tulisan terbaik karya penulis unggul.
Untuk praktik menulis dibutuhkan bahantulisan. Bahan ini dapat digali dengan riset primer dan sekunder. Riset primer bertujuan mencari dan mengumpulkan data dengan langsung terjun ke lapangan atau berwawancara dengan narasumber. Hasil riset lapangan dan wawancara dinamakan data primer. Hasil riset sekunder digali dari berbagai sumber informasi, buku, jurnal, majalah/koran, dan internet. Nilai tertinggi tentu diperoleh dari data primer. Kedua bahan primer dan sekunder itu diseleksi, dipilih, dan disusun menjadi cerita yang utuh. Secara garis besar perlu disusun acuan yang disebut sinopsis atau inti cerita. Berdasarkan synopsis/kerangka cerita, penulis memaparkan semua data tersebut dalam tulisan yang bulat.
Penulis biasanya mulai menulis setelah dalam kepalanya terdapat sinopsis atau gambaran tulisan yang utuh secara garis besarnya. Sinopsis yang terdapat dalam kepala sebaiknya segera dituangkan ke dalam kertas atau langung ditik ke dalam komputer.
Sinopsis mengandung inti tulisan dari A,B,C sampai Z. Tiap peristiwa umumnya diawali dari urutan terawal hingga berakhirnya peristiwa itu. Urutan A,B,C sampai Z ini disebut naratif. Tulisan/cerita itu disebut tulisan/cerita naratif.
Untuk menarik perhatian pembaca, karena sering tulisan naratif murni menjemukan pembaca, para penulis biasa mengambil unsure terhebat dalam urutan tulisan A, B, C … sampai Z. Misalnya, peristiwa dalam K,L,M atau P,Q,R. Unsur itulah yang dikembangkan lebih dahulu. Menceritakan peristiwa yang terjadi sebelumnya ini disebut backtracking (menyorot ke belakang). Setelah itu, semua unsur cerita lain dari seluruh abjad dimasukkan sampai Z hingga tercapailah cerita yang menarik dan utuh.
Penulis profesional sering langsung menulis secara cepat sampai selesai. Usai itu baru diendapkan semalam, beberapa malam atau seminggu atau lebih, lalu disunting. Akan tetapi, ada pula penulis terutama dari kalangan wartawan senior yang mahir tanpa memerlukan pengendapan. Ia langsung mengedit begitu tulisan selesai.
Menyunting artinya memperbaiki struktur dan jalan tulisan, alenia, kalimat, kata tanda baca, menambah sesuatu yang kurang, mengurangi sesuatu yang berlebihan atau tidak berguna (ballast) seperti bagian kalimat atau kata yang tidak berfungsi. Hal itu dilakukan hingga memperoleh tulisan akhir yang tanpa cacat atau kesalahan.
Bagi penulis baru, sebaiknya editing ini dilakukan sekurangnya lima kali. Mantan pemimpin tertinggi Partai Komunis Cina, Mao Tse Tung meskipun mahir menulis, ia mendisiplinkan diri untuk tidak segera mencetak tulisannya sebelum diedit lima kali atau lebih. Dengan begitu, hasilnya bisa bersih dari cacat (zero defect) atau kesalahan.
Terakhir barulah tulisan itu dikirim kepada penerbit media massa yang sesuai. Buatlah surat pangantar untuk sang redaktur, mohon  tulisan itu dimuat. Jika menurut sang redaktur  tulisan itu tidak dapat dimuat, mohon penjelasan atau petunjuknya dan agar dikirim kembali ke alamat surat atau pos-el (email) penulis. Kalau gagal, tulisan Anda akan dikirm kembali kepada Anda untuk diperbaiki berdasarkan petunjuk sang redaktur tersebut.

***

UNTUK mahir menulis  dibutuhkan pembiasaan. Hal ini dapat diperoleh melalui disiplin dan usaha yang  kontinyu. Pepatah berkata, ”Alah bisa karena biasa.” Sulit menulis karena belum biasa. Kalau sudah biasa menulis, tidak ada kesukaran. Anda bisa menulis segampang ibu menanak nasi atau memasak sayur asem, soto, atau kue. Tentu takperlu resep! Teori perlu, tetapi tanpa dipraktikkan semua teori manjadi nirguna.
Agar mahir menulis, tidak berbeda dengan seseorang sedang belajar renang, sepeda, dan bela diri. Para atlet renang, sepeda, dan bela diri yang mahir akan memerlukan 3.000 pengulangan. Dengan begitu, ia akan memiliki gerak reflek atau otomatis. Menulis juga begitu. Seorang penulis atau wartawan yang mahir umumnya telah memiliki konsep reflektif atau otomatis. Begitu melihat sebuah peristiwa, ia telah tahu mana yang patut menjadi lead (awal tulisan), mana pula yang harus diurutkan kemudian. Oleh sebab itu, pengulangan sampai 3.000 kali merupakan dasar bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kemahiran fisikal atau intelektual. Tentu saja ada pengecualian, kurang dari itu ia bisa mahir. Tetapi sekali lagi itu kekhususan, takberlaku bagi umum!
Sama halnya dengan hukum ingatan. Orang tidak bisa mengingat suatu bahasa asing secara kekal sebelum mengulanginya 100 kali. Ia memang bisa ingat dengan lima kali pengulangan. Namun, daya tahan ingatannya mungkin hanya beberapa saat. Dengan sepuluh kali pengulangan, mungkin hanya ingat beberapa minggu. Dengan 40 kali pengulangan, mungkin hanya beberapa bulan. Tetapi dengan 100 kali pengulangan, ia akan tetap ingat bagaimana menggunakan bahasa ibunya sendiri.

Dalam menulis yang menggunakan aneka jenis ingatan, kemampuan mengingat, menilai, mengurutkan, dan menempatkan suatu data pada tempat yang akurat (tepat), memerlukan pengulangan yang lebih banyak. Bukan hanya ratusan kali, melainkan ribuan kali, bahkan yang sempurna ialah 3. 000 kali. Apa artinya semua ini?
Calon penulis harus sungguh-sungguh dan tekun. Ia harus rajin, terus manulis tiap hari dengan disiplin, tidak mudah merasa puas dan tidak mudah berputus asa.
Seorang penulis muda tidak boleh berputus asa sebelum 100 kali tulisannya ditolak. Perbaikilah. Kirimlah kembali kepada media massa yang 101,102, dan seterusnya. Insya Allah pada akhirnya berhasil. Siapa sungguh-sungguh pasti berhasil. 

Dalam konteks ini perlu dicamkan hukum keunggulan bahwa tidak ada usaha setengah-setengah yang akan memenangi persaingan di dunia. Ia pasti terlempar ke bawah. Hanya mereka yang menggunakan 99% bakat, 99% keuletan, dan 99% kerja keras yang memenangi kompetisi.
Kemajuan calon penulis akan tampak dalam 30 hari saja. Hanya syaratnya ia harus menulis surat kepada temannya atau menulis apa saja tiap hari minimal satu folio dua spasi. Ia bisa membaca koran atau buku, kemudian menulisnya  kembali sesuai dengan kesan yang diterimanya dengan bahasanya sendiri.
Dengan disiplin menulis tiap hari selama 30 hari itu, menurut Prof, Dr. Carl Goeler, kemajuannya akan cepat melesat. Jika latihan pertama selama 30 hari usai, lanjutkan dengan bulan berikutnya dengan sedikit labih banyak, misalnya 11/4 folio. Dengan begitu dalam waktu tidak begitu lama, ia telah mendapat kemampuan menulis untuk segera berkarya. Dalam masa tiga bulan, kemungkinannya tulisan bisa dimuat di salah satu koran atau majalah.
Yang perlu ditekankan di sini ialah kesadaran calon penulis atau penulis muda, bahwa sesungguhnya tidak ada orang lain yang bisa menolong dirinya untuk mahir menulis selain dirinya sendiri. Ia sendiri yang harus menjadi guru dan pengawas. Ia sendiri pula yang harus menjadi redaktur tulisan yang telah dibuatnya. Jadi, Anda harus menulis dan mengeditnya sekaligus.
Untuk itu diperlukan latihan yang kontinyu/intensif. Para editor, misalnya berkutat melatih diri setahun penuh untuk bisa menulis dan menyunting naskah sesuai dengan gaya yang mereka anut, syukur-syukur yang telah memiliki standardisasi. Jika bukan wartawan atau editor,  Anda harus bekerja lebih keras daripada para wartawan atau editor itu. Di sini tentu saja tidak urung peran tokoh di balik berita itu, yaitu para redakturnya sangat menentukan. Merekalah juru bina kualitas. Editing mereka ketat!

Di sini menunjukkan pentingnya disiplin diri untuk terus berkarya tiap hari bagi calon atau penulis muda yang ingin menjadi penulis profesional. Jika nasib baik, jalan terbaik ialah menjadi wartawan terlebih dahulu. Dengan pengalaman kewartawanan, Anda akan mudah untuk menjadi penulis profesional yang produktif.
Banyak penulis roman dan cerpen dunia yang terkenal, berasal dari dunia wartawan. Tokoh-tokoh seperti Whalt Whitman (1819—1892), Rudyard Kipling (1862—1936), H.G. Wells (1899—1946), Ernest Hemingway (1899—1961), Albert Camus (1913—1960), Najib Khailani (1923-…), Ali At-thonthowi (1919—1998), Seno Gumira Ajidarma (1958-…), dan sejumlah pengarang Indonesia (yang sebagian besar pernah mencicipi pahit-getir jagat jurnalistik).
Meskipun demikian, banyak pula penulis ulung yang sama sekali tidak pernah menjadi wartawan terlebih dahulu. Akan tetapi tentu masing-masing ilmu dan kemampuan yang diperoleh, pasti berangkat dari proses panjang belajar, berlatih, dan disiplin menjaga motivasinya untuk maju.

1 comments:

  1. alhamdulillah...luar biasa Allahu Akbar.!
    Jadi terinspirasi lagi untuk segera belajar menulis....

    BalasHapus