ORANG hebat selalu membaca buku. Pembaca
buku akan memperoleh ’suaka’, yakni tempat yang paling pribadi, yang akan
membawanya menjelajahi kedalaman dan keintiman diri seseorang dengan orang
lain. Membaca atau menulis buku bisa berarti sebagai penggalian makna dan
pengalaman perjalanan spritual seseorang, layaknya seorang sufi ’mabuk cinta’
kepada Tuhan. Dengan kedalaman membaca buku itulah waktu seakan-akan terhenti
dan masuk ke suatu ’waktu yang dalam’, waktu yang dialami tanpa sadar bahwa
waktu itu berjalan. Pada suatu saat, dia tidak hanya membaca kalimat-kalimat
yang tercatat, bahkan turut bermimpi di dalamnya— Sharrom TM Sulaiman dan Salasiah Abd Wahab (dalam Keanehaan dan
Keunggulan Buku, Utusan Publication, 2002: v).
Kesadaran membaca buku tidak harus digerakkan secara nasional, tetapi idealnya harus menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Menukil anekdot Remi Sylado, bahwa beda manusia dengan satwa sangat jelas. Satwa bisa mengusahakan sandang, pangan, dan papan. Manusia jelas bisa pula berbuat seperti itu. Hanya satu yang perlu diingat, satwa tidak bisa mengusahakan buku, membaca, apalagi meresensinyanya. Jadi, membaca buku sudah harus masuk ke dalam sembilan bahan pokok (sembako) kehidupan manusia.
Kesadaran membaca buku tidak harus digerakkan secara nasional, tetapi idealnya harus menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Menukil anekdot Remi Sylado, bahwa beda manusia dengan satwa sangat jelas. Satwa bisa mengusahakan sandang, pangan, dan papan. Manusia jelas bisa pula berbuat seperti itu. Hanya satu yang perlu diingat, satwa tidak bisa mengusahakan buku, membaca, apalagi meresensinyanya. Jadi, membaca buku sudah harus masuk ke dalam sembilan bahan pokok (sembako) kehidupan manusia.
Karena
buku merupakan ’sembako’ kehidupan, membaca buku bisa dimulai dari hal yang
sederhana. Andai tergolong pembaca buku biasa-biasa (bukan predator buku,
meminjam istilah penyair Taufiq Ismail), kita bisa baca buku rata-rata 300 kata
dalam satu menit walaupun memang ada buku yang tidak mudah cepat dibaca. Buku
ilmu pengetahuan seperti matematika, pertanian, perdagangan atau bahan bacaan
lain yang baru dan "terasa asing", biasanya dibaca dalam tempo
lambat. Membaca sajak atau genre sastra lainnya tidak bisa secepat itu
guna menukik pada makna kata-kata yang imajinatif-asosatif. Dibutuhkan
konsentrasi untuk melakukannya!
Namun,
membaca buku berjenis biografi, petualangan, dan hobi, rasanya tidak sukar
untuk mengikuti dengan saksama semua makna keindahan 300 kata (yang tercetak)
dalam satu menit. Angka statistik (meskipun tidak tepat selamanya) memberikan
gambaran sebagai berikut. Andai seorang pembaca biasa dapat membaca 300 kata
dalam satu menit, dalam 15 menit dapat membaca 4.500 kata, dalam seminggu
31.500 kata, sebulan (dihitung 4 minggu) 126.000 kata, dan setahun 1.512.000
kata. Secara umum, buku terdiri atas 60.000 hingga 100.000 kata, rata-rata
75.000 kata. Dalam setahun, seorang pembaca biasa yang dapat membaca 15 menit
sehari dapat menyelesaikan 20 buku. Jumlah ini tergolong besar, empat kali
lebih besar daripada yang dibaca para peminjam buku dari perpustakaan umum di
Amerika Serikat (Publishers Weekly, 2001).
Mari
kita teladani kisah seorang pengoleksi, pembeli, dan pembaca buku yang hebat
(biblioholik), William Osler. Selama hidupnya, ia mengajar di Sekolah
Kedokteran John Hopkins. Banyak pakar fisika terkenal di AS pernah belajar pada
Osler. Ia benar-benar menjadikan buku sebagai sumber ilham dan sumber belajar.
Oleh sebab itu, pantas pula melekat pada dirinya sebutan bibliofil
(pembaca tekun).
Buku
kedokteran karya Osler mengilhami para ilmuwan kedokteran, di antara sumbangan
yang paling dahsyat dalam ilmu kedokteran, merupakan hasil penelitian Osler,
yakni fenomena kematian. Kepopulerannya ditopang oleh para penulis
biografi dan pengkritiknya, bukan saja dari kalangan ilmuwan kedokteran saja,
melainkan juga dari kalangan lainnya sehingga Osler disegani kaum terpelajar.
Ia amat besar perhatiannya pada sesuatu yang telah dibuat dan dipikirkan
manusia sepanjang hayat. Ia mengetahui dan menguasai semua ilmu pengetahuan
karena ia sering ’mencuri’ waktu di sela kesibukannya untuk membaca aneka
informasi.
Bagaimana
Osler bisa menguasai ilmu pengetahuan itu? Jauh hari sebelumnya ia telah
mengambil keputusan bagi dirinya, harus ’mencuri’ waktu 15 menit sebelum tidur atau sebelum
meneliti sesuatu. Jika jam tidur mulai pukul 11.00 siang, ia membaca buku mulai
pukul 2.00 sampai 2.15 siang. Sepanjang hayatnya, ia tidak pernah mengabaikan
apa yang telah menjadi kebiasaannya. Uniknya, ia justru gelisah dan sulit tidur
jika tidak menyempatkan 15 menit untuk membaca buku.
Di
kalangan sarjana sastra Inggris, Osler dikenal pula sebagai seorang pakar yang
tahu banyak tentang pujangga Thomas Broene (sastrawan Inggris abad ke-17).
Perpustakaan pribadi Osler menyimpan banyak apresiasi/telaah mengenai
keunggulan karya sastra Thomas Broene. Selain itu, juga tersimpan banyak hasil
penelitian Osler mengenai pengobatan, formulasi teknik mengajarkan ilmu
kedokteran, dan pengantar metode klinik kedokteran modern.
Lalu,
menyeruak pertanyaan dalam hati kita, bagaimana Osler mendapatkan waktu untuk
membaca? Jawabannya, bukan saja membaca 15 menit sebelum tidur, melainkan
setiap hari pada kesempatan apa saja. Saat sesibuk apa pun masih ada waktu bagi
Osler, mungkin lebih dari 15 menit ’mencuri’
waktu untuk melek huruf.
Menunggu
sesuatu biasanya dianggap pekerjaan yang memuakkan. Bagi Osler, mungkin
idealnya bagi kita juga, justru di saat menunggu sesuatu itu merupakan waktu
yang tepat untuk membaca (apa pun) sumber informasi. Selain membaca
terus-menerus 15 menit sehari, juga lebih baik secara teratur. Menit-menit
terluang dapat memberikan banyak manfaat. Percayalah, kesempatan membaca tidak
terkirakan banyaknya. Syaratnya hanyalah kemauan ’mencuri’ waktu untuk membaca!
Sekali
lagi, kita patut meneladani Osler dalam hal membaca buku. Ia tergolong insan
pencinta buku atau bibliofil. Bibliofil berbeda motivasinya dengan bibliholisme
(pecandu buku atau biblioholik, yang gemar mengumpulkan buku). Insan
bibliofil senantiasa menjadikan buku sebagai sumber belajar. Hal yang perlu
dihindari adalah penyakit yang berkaitan dengan buku, yakni bibliotaf, bibliokas,
bibliofagi, dan biblionarsis.
Sang
bibliotaf akan mengubur koleksi bukunya sebab ia yakin bahwa masa depan manusia
akan selamat jika buku karyanya selamat pula dari persekongkolan penguasa
dunia. Bagaimana sang bibliokas? Ia adalah sang perusak buku (sumber informasi
lainnya). Manakala meminjam buku milik orang lain atau koleksi perpustakaan,
sang bibliokas akan merobek bagian-bagian buku/majalah dan sejenisnya. Kaum
pembakar buku tergolong pula ke dalam bibliokas. Lebih parah dari bibliokas
adalah bibliofagi, yakni orang yang percaya bahwa membakar buku pengetahuan,
kemudian abunya dicampurkan dengan kopi, lalu diminum dengan harapan isi buku
itu mudah diserap otaknya. Bagaimana sang biblionarsis? Ia akan menyimpan semua
koleksi bukunya di dalam rak atau lemari kaca, dengan harapan semua orang
memujinya.
Nah,
alangkah indahnya jika hari-hari kita diisi dengan membaca buku. Ke mana pun
pergi, buku senantiasa dijadikan pendamping setia. Mudahan-mudahan budaya mencuri
waktu untuk membaca buku jadi kebiasaan laten, terutama di kalangan remaja
(yang sedang bersaing dengan telefon pintar dan dunia internet). Bukankah di Jepang, Amerika, Jerman, dan negara
lainnya yang jauh lebih tinggi tradisi ’mencuri’ waktu membacanya, begitu pesat peradabannya?
Untuk yang satu ini, kita tidak salah menirunya! Sebuah pemeo yang menarik,
tiba-tiba menghentak kita, "Mereka yang kerap mencuri waktu untuk membaca buku, tidak pernah mengenal kesepian di
mana pun".***
0 comments:
Posting Komentar