Home » » Eksperimen dalam Proses Kreatif

Eksperimen dalam Proses Kreatif

PENGAMAT sastra Indonesia, Harry Aveling menerjemahkan Godlob ke dalam bahasa Inggris, Abacadabra. Aveling memuji Danarto dengan sebutan master. Selain itu, Andreas Teeuw mengatakan bahwa cerpen-cerpen Danarto mewakili jenis pembaruan sastra Indonesia, yang betolok ukur secara paradoks dalam kebudayaan tradisional dan tampaknya menggenggam harapan bagi masa depan.
Namun sekonyong-konyong, Danarto sekarang belum lagi mengarang cerpen gelap seperti dalam Godlob dan Adam Ma’rifat. Atau saja saya belum lagi menemukan cerpen-cerpen gelap Danarto saat ini? Ada semacam kerinduan bagi saya tentang karya-karya Mas Danarto itu. Yang jelas saya pernah menemukan beberapa saja cerpen beliau yang realistis, seperti pernah dimuat Republika atau Matra. Bahkan, saya masih mengoleksi sebuah cerpen Danarto yang dimuat majalah Sartika No. 31/Th. IX, September 1985 (majalah ini mungkin sudah almarhum), yang saya beli di pasar loak Cikapundung Bandung. Cerpen realitis ini berjudul ”Selamat Jalan, Nek!”. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa cerpen-cerpen tersebut masih mendapatkan ”bau dupa” cerpen absurd. Ini saya akui sebagai sisa genangan dalam kehidupan Danarto.
Maksud saya sisa genangan kreativitasnya ketika dimabuk ke-tasawuf-an, yang mendorongnya menulis cerpen gelap, Godlob dan Adam Ma’rifat. Saya sendiri menganggap karya-karya Danarto dalam cerpen tersebut sebagai karya yang wajar. Karya itu memang bisa disebut luar biasa—dalam arti sekadar lain dari kelumrahan. Saya tidak sejauh A. Teeuw yang berani memberi ruang kemungkinan bahwa Danarto pembaru cerpen Indonesia yang sanggup bersitahan dengan  pembaruannya. Bagi saya, cerpen-cerpen gelap Danarto sekadar wujud eksperimen, dan lahirnya cerpen-cerpen itu masih dalam proses mencari jati diri.

Secara kebetulan dalam berproses kreatif menemukan jati diri itu, Danarto mampir sejenak ke warung bernama tasawuf. Di situ, dia mabuk. Pencariannya cenderung kian ke dalam. Kemabukannya itu ia muntahkan ke dalam wujud kerja kreatif, yakni mengarang cerpen. Akan tetapi sejak awal, saya menduga bahwa Danarto adalah manusia biasa, dalam arti bukan sufi. Kalau sebagai pakar tasawuf, bolehlah. Itu pun dalam takaran tertentu.

Seorang pengarang dalam menulis atau berkarya selalu banyak berlandaskan basis fakta. Kebetulan basis fakta yang diserap Danarto adalah jagat tasawuf kejawen. Oleh karena itu, Adam Ma’rifat lahir. Saya tidak berani memastikan bahwa ketika menulis cerpen gelapnya. Danarto telah menemukan kekhasan. Jati dirinya. Saya lebih suka mengatakan bahwa Adam Ma’rifat dan Godlob sebagai eksperimen.

Karya eksperimen biasa ditulis oleh hampir setiap pengarang yang sedang berproses. Karya eksperimen tidak harus berbentuk absurd sebab karya eksperimen lahir ketika pengarang mengalami masa trance (jenuh). Oleh karena itu, Danarto sendiri tidak berdosa kalau sampai akhir hayatnya dia tidak lagi menulis cerpen gelap. Ia tidak menampik jika ternyata menulis cerpen-cerpen realitis sebab lahirnya Godlob dan Adam Ma’rifat adalah dipengaruhi oleh satu kecintaan tertentu, yang suatu saat kecintaan itu pasti berlalu. Ini merupakan gejala wajar. Hal ini juga pernah dialami oleh Korrie Layun Rampan (KLR).

KLR juga pernah bereksperimen dengan cerpen-cerpen gelap, yang akhirnya terkumpul dalam antologi Malam Putih. Karena kemabukan Korrie berbeda dengan Danarto, cerpen yang lahir pun turut berbeda, tetapi sama-sama absurd. Jadi, masalahnya seperti telah diulas sepintas di awal, yakni terletak pada basis fakta yang dimiliki pengarang. Basis fakta inilah turut menentukan mutu  karya. Kemabukan yang amat terhadap basis fakta selalu menguntungkan kerja kreatif seorang pengarang. Contohnya bukan hanya pada Korrie atau Danarto.

Ernest Hemingway termasuk juga pengarang yang memiliki basis fakta yang kuat. Tatkala akan mengarang The Old Man and the Sea (Lelaki Tua dan Laut) ia suka pergi memancing ikan di laut. Kalau novel mini yang memenangi Hadiah Nobel itu diceritakan lelaki tua yang pergi memancing akhirnya hanya mendapatkan kerangka ikan., yang akan disampaikan oleh Hemingway bukan itu, melainkan seorang tua bergumul dengan rezekinya di tengah-tengah laut.

Saya tidak mengatakan bahwa cara memiliki basis fakta harus pergi ke suatu tempat atau papan seperti yang dilakukan Hemingway. Basis fakta dapat ditagguk dari banyak membaca. Almarhum Mohammad Diponegoro (Mas Dipo) yang tidak pernah menginjakkan kaki ke Hongkong dapat menulis tentang kota itu dalam novel Siklus. Taufiq Ismail ketika meresepsi novel Siklus, seperti memutar kembali jalan-jalan yang pernah ia lewati ketika berada di Hongkong. Ia tdak tahu kalau pengarangnya, Mas Dipo, belum pernah ke Hongkong.

Mas Dipo tidak mengalami sendiri secara fisik pergi ke luar negeri, tetapi basis faktanya kuat. Ini dapat dikatakan sebagai suatu keajaiban. Ini tidak dimiliki oleh banyak pengarang, selain Kho Ping Hoo. Fenomena ini seperti yang dialami para dalang wayang. Mereka tidak ”mengalami” atau ”menemukan” zaman lahirnya wayang, tetapi karena ada pakem, dalang dapat menjadikannya sebagai basis fakta. Hanya persoalannya, zaman terus bergulir. Basis fakta terus diperluas dan diperdalam. Dalang yang hanya mengandalkan basis fakta pada pakem, dia tidak bisa diterima zaman. Mereka yang mau kreatif membuat cerita-cerita baru yang dikenal dengan cerita modifikasi.

Dalang yang kurang kreatif, suatu saat akan ditinggalkan penggemarnya. Kasus ini persis yang banyak dialami pengarang. Pengarang yang basis faktanya tidak berkembang,  dalam berkarya acap mengulang-ulang tema, ia akan berhenti pada eksperimen perrtama. Ia mandul dan mengalami kemalangan kemarau panjang. Adapun, para pengarang muda yang menyeruak dengan semangat kreatif yang tinggi, telah menyusulnya. Lalu, melampauinya. Tatkala disadarinya hal itu, ia loyo.

Ia hanya dapat membanggakan keberangkatannya yang tidak pernah sampai pada tujuan. Dari sebagian mereka ada yang terus berkarya, ada pula yang kemudian menjadi tenggelam di telan zaman. Dari sinilah menurut saya, cara terbaik memandang karya eksperimen seperti pada karya-karya sastra Danarto. Eksperimen yang bagus tidak harus terburu-buru mendapatkan tepuk tangan dan diresepsi banyak pembaca sebab karya eksperimen belum merupakan jati diri. Ia sekadar persinggahan sejenak. Boleh jadi, persinggahan itu bisa menyihir berjuta-juta pembaca. Nah!***

0 comments:

Posting Komentar